Jurnalisme, Blur, dan Dewan Pers

Sembilan Elemen Jurnalisme terhimpit buku-buku lain di lemari. Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, keduanya adalah jurnalis senior Amerika Serikat (yang satu lama berkarya di The New York Times, dan nama yang disebut kedua, di The Los Angeles Times), sudah menerbitkan buku ini sejak 2001. Satu dari banyak eksemplar sudah ada di tangan saya sejak 2011, ketika saya belajar jurnalisme lagi di Yayasan Pantau. Tidak terlalu sulit mendapatkan buku ini. Pantau sudah menyediakan jatah buku ini untuk peserta kelas narasi. Maklum, ia termasuk dalam silabus dan buku wajib baca.

Bahwa jurnalisme itu punya elemen-elemen–setidaknya sembilan, menurut Kovach dan Rosenstiel–, itu sudah dijabarkan jelas betul dalam buku itu. Bahwa setidaknya setiap jurnalis itu wajib patuh pada pencarian kebenaran, setia pada rakyat, disiplin verifikasi, bisa menjaga independensi, menjadi pemantau yang merdeka terhadap kekuasaan, bisa jadi forum bagi publik untuk saling kritik dan berkompromi, bisa membuat berita yang komprehensif dan proposional, serta harus dengar hati nurani personalnya. Sayang, perusahaan besar yang paling baru saya tinggalkan, melanggar lebih dari setengahnya elemen-elemen tersebut. Tapi bukan itu yang ingin saya bicarakan sekarang. Saya bukannya mau membicarakan bahwa banyak jurnalis kini yang mengubah haluan kapal ke arah bisnis. Bukan itu…

Kovach mungkin sangat bisa menjalankan semua elemen itu, walaupun jelas tidak akan mulus jalannya. Tapi seperti kata Goenawan Mohamad, toh, Kovach adalah jurnalis yang sulit ditemukan cacatnya. Padahal, betapa sulitnya menjadi independen ketika kita hanya menjalankan perintah. Apalagi, punya atasan yang loyalitasnya sudah berganti dari rakyat ke uang. Sulit. Tapi, sekali lagi, bukan itu yang saya ingin bicarakan.

Kovach dan Rosenstiel lalu menerbitkan buku lain sekitar 9 tahun setelah Sembilan Elemen Jurnalisme. Judulnya, Blur. Kovach, masih tandeman bareng Rosenstiel, mencoba memberikan gambaran tentang cara mengetahui kebenaran ketika informasi di masa kini sangat mudah didapatkan–kalau tidak bisa dikatakan banjir dan meluap-luap. Kovach dan Rosenstiel begitu jeli (tanpa meninggalkan keseriusan) memberikan panduan cara untuk bertahan pada akar jurnalisme, juga mengeksplorasi media-media kini.

Abad tidak bisa dicegah untuk berkembang, begitu pula teknologi. Ada jurnalisme bentuk lain bernama jurnalisme warga yang muncul. Atau, jurnalisme online. Bukan kapasitas saya untuk menjawab, apakah kedua bentuk jurnalisme tersebut adalah bisa disebut jurnalisme yang sebenar-sebenarnya.

Jurnalisme sejati katanya nyaris mati. Sangat nyaris. Sampai Kovach dan Rosenstiel dalam Blur meyakinkan lagi, bahwa batas antara fakta dan opini masih sangat jelas. Bahwa kebenaran dalam berita dan sensasi masih bisa dicari bedanya. Bahwa meski samar, garis antara warga dan jurnalis masih ada.

Buku ini wajib baca, tentu saja. Apalagi bagi para jurnalis yang memang masih ingin belajar lagi soal jurnalisme di masa kini. Jurnalis yang masih loyal terhadap kebenaran dan rakyat. Jurnalis yang bukan kerjanya beralih jadi merangkul klien dan mencari uang lewat berita-berita yang ditulisnya.

Blur sudah diterjemahkan. Aslinya, ia adalah buku berbahasa Inggris. Terjemahannya adalah proyek kerja sama antara Yayasan Pantau dan Dewan Pers. Diterjemahkan oleh Imam Shofwan dan Arif Gunawan Sulistiyono dengan supervisi dari Andreas Harsono dan Budi Setiyono. AH dan Buset adalah mentor-mentor saya di Pantau, lepas dari yang satu adalah pekarya di Human Right Watch dan yang satu lagi editor di Majalah Historia.

Masalahnya, terjemahan ini hanya dicetak sangat terbatas; hanya 5.000 buku. Bagi yang punya hubungan dekat dengan Pantau, salah satunya karena ikut kelas penulisan, bisa tenang karena buku ini pasti sampai ke tangan Anda. Tapi, bagi yang tidak, siap-siap kelimpungan.

Yayasan Pantau dan Dewan Pers sudah melokasikan 5.000 buku itu ke tempat-tempat yang jelas. Wawan Agus Prasetyo dari Dewan Pers dengan lugas sudah bilang, fokus persebaran Blur adalah media dan perpustakaan-perpustakaan umum, bukan perseorangan (kecuali ya itu tadi, anak-anak Pantau). Media karena jelas, mereka butuh. Perpustakaan umum karena diharapkan buku ini bisa diakses oleh lebih banyak orang.

Dewan Pers tidak menjual buku. Tidak pernah. Maka, ketika Anda terlalu menginginkan sebuah buku yang kebetulan dimiliki oleh Dewan Pers, jangan pernah mempertanyakan soal harga buku itu. Akan lebih berguna jika Anda menunjukkan keseriusan Anda terhadap buku itu. Tunjukkan saja bahwa buku itu akan berguna untuk Anda. Bagi Dewan Pers, duit Anda tidak ada apa-apanya dibandingkan gejolak belajar Anda yang besar.

Persetan kalau banyak yang bilang, “Dewan Pers itu kerjanya apa, ya? Cuma tempat ngadu orang-orang yang diberitai buruk.” Persetanlah. Saya cuma takjub ketika Mas Wawan dengan mata berkilat mengatakan, “Dewan Pers tidak menjual buku.” Saya lalu jatuh cinta pada kalimat itu. Mungkin juga jatuh cinta pada pemikiran Dewan Pers tentang buku.

Blur sudah sampai di tangan saya. Ia bersama buku Pulang Leila S. Chudori dengan setia ada di tas saya jika saya sedang ke mana-mana, atau ada di sebelah bantal saya, jika saya ada di rumah. Dua buku ini sedang saya baca dan sayang-sayang benar.

Camera 360

4 Comments Add yours

  1. johanesjonaz says:

    happy reading mbak.. saya nggak berani minjem… πŸ™‚

    1. Atre says:

      hahaha…ngeri duluan ya? hahaha…

      1. johanesjonaz says:

        hahahahah… daripada ilang dan ketlisut

  2. teteh says:

    tret, perpustakaan nasional dapet gak?? kalo mau, aksesnya kira-kira ke mana? bisa infokan? atau, udah dapet mungkin perpusnas? thx u tret…
    btw, pa kabar tret? template blognya aku lebih suka yang kemaren deh.. hehe..

Leave a comment