Berselancar di Pantai Lakey Hu’u, Dompu

Avanza rentalan menderu di atas jalan mulus yang panjang. Hari ini, kami berangkat menempuh perjalanan dari Bima ke Dompu. Sebetulnya, ini seperti mengantarkan teman kami, Gemala Hanafiah, ke Pantai Lakey Hu’u buat surfing. Karena selain Al, tidak ada lagi yang ngidam dan begitu ambisius pada surfing. Sampai-sampai bawa papan seluncur dari Jakarta.

Al memang kerap traveling untuk mencoba surfing di banyak tempat. Sampai sekarang, ia sudah pernah berselancar di antaranya Lokhnga (Aceh); Lagundri (Nias); Macaronis, Hollow Tree, Telescope, Suicide (Mentawai); Insight Left, Indicator, Nyawaan, Angel, Tanjung Lesung, Sawarna, Malimping (Banten); Cimaja, Loji, Karang Sari, Karang Aji, Batukaras, Cijeruk, Batu Mandi (Jawa Barat); Pancer, Srau (Jawa Timur); Serangan, Green Bowl, Uluwatu, Padma, Canggu, Brawe, Kramas, Balian, Nusa Dua (Bali); Tropical, Lakey (NTB); Nemrala (Rote); dan Bono (Riau). Wogh, banyak banget!

Butuh waktu kurang lebih satu jam dari Bima ke Kecamatan Hu’u, Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat, tempat Pantai Lakey berada. Pantai Lakey ini juga sering disebut Lakey Hu’u ya karena memang letaknya di Kecamatan Hu’u. Banyak orang kadangkala rancu, tapi sekarang saya bisa pastikan Pantai Lakey dan Pantai Lakey Hu’u adalah satu pantai yang sama.

Tiba di Lakey hampir di jam makan siang. Kami singgah dulu sebentar di area restoran Lakey Beach Inn yang menghadap ke pantai, untuk sekadar ngopi-ngopi dan siap-siap bagi yang hendak berselancar. Matahari lagi terang-terangnya. Tapi, angin yang sepoi-sepoi enak sekali, bikin betah, bikin ngantuk.

Selain Lakey Beach Inn, pilihan penginapan dan restoran di kawasan Pantai Lakey sudah bisa dikatakan banyak. Misalnya Aman Gati Hotel, Alamanda Cottage, Monalisa Cottage, Puma Bungalows, dan lain-lain. Tinggal pilih dan mereka berada di sepanjang tepi Pantai Lakey. Harga hotel dan cottage bervariasi mulai dari Rp60.000 sampai Rp400.000 hitungan per malam.

Saya mulai mengantuk karena angin ketika kawan-kawan juga mulai bersiap beranjak ke pantai. Hari sudah lewat tengah siang, dan belum juga terlalu sore. Jadi, ini waktu yang–kata Mas di Lakey Beach Inn–tepat untuk mulai surfing.

Jarak dari restoran hingga sampai menyentuh air pantai itu hanya sekitar 5 menit atau mungkin dikira-kira 100 meter. Jadi, kami santai saja berjalan menuju pantai. Hanya Al dan Alvi yang membawa papan seluncur dan berniat menjajal ombak Lakey. Sementara, saya, Giri, dan Bang Dede niatnya memang hanya kecipak-kecipik kecil di pinggir pantai.

Pantai Lakey NTB - atre

Setiap tahun, Pantai Lakey Hu’u dikunjungi sampai 1.000 wisatawan. Kali itu saya datang, wisatawan yang datang kebanyakan asing–kalau tidak bisa saya katakan “bule”. Pantai Lakey memang sudah jadi spot surfing terkenal di dunia ditambah lagi Lakey sudah langganan menjadi tuan rumah kejuaraan surfing internasional. Jadi, para peselancar dari Asia, Eropa, Amerika Serikat, sampai Afrika berburu ombak sampai ke NTB, ke Pantai Lakey.

Saya teringat pada Cimaja ketika tiba di tepi Pantai Lakey. Setelah padang pasir putih yang berbukit-bukit dan genangan air yang dipenuhi lumut (atau rumput laut), tepi pantai di Lakey itu penuh batu kerikil. Air lautnya pun berwarna biru gelap tetapi jernih.

Pantai Lakey Hu'u - atre

Saya lalu penasaran apakah tipikal pantai berombak besar (untuk surfing) memang akan selalu bertepi kerikil dan airnya berwarna gelap? Al yang sudah surfing sejak tahun 2000 menjelaskan, “Kebetulan Pantai Lakey dan Cimaja dekat muara. Jadi agak butek. Tapi, di Mentawai, Rote, atau Nias, airnya toska dan bening banget. Kalo soal pantai pasir, itu pengaruhnya ke karakter ombak. Ombak dengan dasar pasir nggak akan sebagus yang dasarnya karang. Kalau bawahnya karang, ombaknya pecah di lokasi yang sama dengan bentuk yang sempurna.” Itu kata Al. Jadi,  persoalan tipikal pantai untuk surfing adalah yang berkerikil dan berair gelap, mmm, tidak juga.

Siang jelang sore itu, saya hanya melihat beberapa anak kecil yang sedang belajar surfing di Pantai Lakey itu. Tadi, ketika melewati beberapa penginapan untuk menuju pantai, saya melihat banyak bule yang sedang leyeh-leyeh saja di balkon kamar atau di restoran hotel mereka.

Meskipun masih kecil, anak-anak yang saya lihat sedang menjajal ombak Lakey itu jarang sekali kelihatan terjatuh dari papan mereka. Mereka asyik sekali berkendara di atas papan mereka. Steady. Bahkan, sampai kelihatannya seperti mudah.

Foto: Giri Prasetyo
Foto: Giri Prasetyo

Al pernah bilang, surfing itu tidak semudah kelihatannya. Perlu keseimbangan yang baik, dan belajar yang lama. Al mengaku perlu bertahun-tahun untuk bisa seperti sekarang. Ah, kalau saya sudah terlalu tua untuk memulai ya. Mungkin surfing seperti balet, yang lebih baik dimulai sedini mungkin. Mungkin.

Al dan Alvi lalu mulai menceburkan diri mereka ke laut. Papan-papan mereka sudah siap dilumasi lilin tadi di restoran. Jadi, sekarang sudah siap pakai. Tidak lama kemudian, mereka sudah asyik sendiri dengan ombak-ombak itu.

Pantai Lakey Hu'u atre

Setelah googling sana-sini, banyak wisatawan atau pencinta selancar yang datang ke Pantai Lakey Hu’u karena ombak di pantai ini begitu besar. Ditambah, Pantai Lakey memiliki empat spot berselancar, yaitu Lakey Peak, Cable Stone, Periscope Lakey Pipe, dan Nunggas.

Saya lalu melihat Al keluar dari air dan menuju ke tepian beberapa jam setelahnya. Wajahnya sumringah. Ini pertama kalinya ia surfing di Pantai Lakey. Dan, kelihatannya ia telah menghabiskan waktu-waktu yang menyenangkan di tengah laut sana.

“Ombak Lakey itu ombak A frame. Artinya, ombak dua arah; kiri dan kanan. Sebelah kirinya lebih mellow dibanding sebelah kanannya. Kalau besar, bakal heavy tampaknya. Tapi dengan swell yang sedang, karakternya fun banget. Seru. Kalau sedang pas arah swell dan anginnya, ombak kanan dan kirinya bisa panjang banget. Sebenarnya, memang ombak kiri di Lakey ini salah satu ombak terpanjang di Indonesia,” kata Al senang.

One Comment Add yours

  1. Foto Pantai berbatunya bagus….

Leave a comment