Anak Semua Bangsa: Nasionalisme dan Anak dalam Film

Bahman Ghobadi pernah sekali waktu menyebutkan, “Anak-anak punya cara sendiri untuk mengekspresikan sesuatu dalam layar lebar.” Sutradara berkebangsaan Iran-Kurdi yang kerap mengangkat tema perjuangan dan peperangan—dengan alasan itu—sering mempercayakan film-filmnya dibawakan dari “mata” anak-anak.

Rentan dan jujur. Ini dua alasan utama Bahman yang kemudian berulang-ulang menjadikan anak-anak sebagai sentral film. Terutama, sekali lagi, film-film dengan tema yang dekat sekali dengan patriotisme, bela negara, dan/atau sebut saja nasionalisme.

Persoalan nasionalisme dan patriotisme (perjuangan) ini lalu merembet meluas. Nasionalisme bukan soal fanatik enggak geunah yang seringkali disalahartikan menjadi dekat dengan chaunivisme. Nasionalisme bukan dengan bangga menganggap bangsa sendiri paling benar dan untuk kemudian menjadi sah membabat habis bangsa lain yang dianggap lebih inferior.

Nasionalisme adalah soal membiarkan tanah kelahiran kita menjadi tempat paling damai di dunia. Nasionalisme adalah soal sekuat tenaga membuat negeri sendiri serupa rumah paling nyaman yang bisa kita tinggali. Kalau sudah demikian, bukankah semua orang akan melakukan apa saja untuk membuatnya mewujud? Termasuk, anak-anak.

Sebuah kata “nasionalisme” atau (pilihan kata yang lebih berat) “perang” pada akhirnya tidak lagi hanya soal tentara dan pria-pria bertubuh kekar. Ada tubuh-tubuh kecil yang dengan kepolosannya, punya kekuatan besar tak disangka.

Bahman tidak sendirian. Banyak sutradara atau banyak judul film lain yang sepakat dengan Bahman. Anak-anak ternyata bisa ‘diajak’ perang. Anak-anak punya cara sendiri untuk berjuang.

Kundun: Berjuang Demi Kedamaian di Tibet
Sutradara: Martin Scorsese. Pemeran: Tenzin Thuthob Tsarong (Dalai Lama dewasa), Gyurme Tethong (Dalai Lama usia 12), Tulku Jamyang Kunga Tenzin (Dalai Lama usia 5), Tenzin Yeshi Paichang (Dalai Lama usia 2). Rilis: 1997.

Sejak balita, Tenzin Gyatso yang lahir dari keluarga petani di perbatasan Cina, sudah didapuk untuk menjadi pemimpin Tibet di saat ia siap. Ketika Reting Rinpoche (wali istana) menemukan Gyatso, Reting memandang anak yang kala itu baru berusia 2,5 tahun dengan takjub. Gyatso yang bahkan belum lancar bicara, mungkin sama sekali tidak paham makna pandangan tersebut. Anak kecil itu hanya menarik-narik tasbih yang melingkar di tangan Reting, dan berulang-ulang bergumam, “Ini milikku, ini milikku.” Sementara, itu sebetulnya milik Lama 13 yang baru saja mangkat.

Tenzin Gyatso kemudian diketahui sebagai Dalai Lama ke-14 yang merupakan reinkarnasi Kundun, yang bermakna presence, yaitu sebutan untuk Lama pertama.

Tidak pernah ada yang bisa menimbang-nimbang atau mengira-ngira betapa besar beban Lama 14 untuk mengunyah pendidikan akademik dan spiritual sekaligus di usia yang begitu muda. Ia diboyong dua tahun kemudian setelah ditemukan oleh Reting ke Potala Palace di Lhasa, tempat tinggal para Lama yang sebenarnya.

Keresahan Lama 14 sudah tampak sejak ia baru berusia 12. “Saya bisa apa?” “Saya cuma anak kecil.” Kata-kata serupa itu kerap muncul dari mulut Lama 14 ketika ingat bahwa ia dalam beberapa tahun mendatang menjadi “yang terpilih” untuk memimpin Tibet.

Jauh dari apa yang dirasakan anak-anak seusianya yang punya waktu bermain berlimpah, Gyatso sejak kecil punya jadwal belajar yang padat. Juga, waktu berdoa yang panjang. Meski demikian, ia tetap saja anak kecil. Alih-alih berdoa dengan syahdu, ketika usia 5, Lama 14 seringkali lebih tertarik memperhatikan tikus-tikus yang suka muncul tiba-tiba dan minum di gelas air suci. Di saat biksu lain memejamkan mata karena khusyuk berdoa, Gyatso kerap senyum-senyum dan toleh kanan-kiri.

Tibet lalu menghadapi masa kala Cina mengklaim Tibet sebagai bagian dari Cina. Tenzin Gyatso—yang sudah di ambang dewasa—harus bertindak jadi pemimpin Tibet yang sebenarnya. Ia menghadapi Mao Zedong, pemimpin komunis Cina.

Perlu perjalanan dan pembelajaran panjang sampai akhirnya Lama 14 yang hanya bocah dari keluarga petani, menjadi seorang Lama yang bijaksana dan mampu mengeluarkan kata-kata yang berkesan dan quotable seperti, “Dialogue is the most effective way of resolving conflict.” Karena itu, ia memilih jalan diplomasi menghadapi Cina—walaupun Mao Zedong sudah dengan nyinyir mengatakan, “Agama adalah racun. Dan, rakyat Tibet menjadi lemah dan teracuni agama.”

“I believe violence will only increase the cycle of violence,” kata Lama.

Karena itu, Lama 14 akhirnya memutuskan untuk pergi dari Tibet ke India untuk menghindari kerusakan yang lebih besar lagi di Tibet karena ketidaksepakatan Lama terhadap Cina. Ini tepat ketika dialog atau diplomasi tidak lagi didengar. Karena, “…If you wish to experience peace, provide peace for another.”

Anak kecil yang ditemukan Reting di usia 2,5 itu pada akhirnya tumbuh menjadi Lama yang kuat dan bijaksana. Memilih untuk pergi dari “rumah”-nya sendiri agar rumah tersebut tetap damai.

Les Miserables: Suara dari Tubuh Kecil yang Membakar Semangat
Sutradara: Tom Hooper. Pemeran: Hugh Jackman, Russell Crowe, Anne Hathaway, Amanda Seyfried, Daniel Huttlestone. Rilis: 2012.

Ini adalah zaman ketika Prancis bukan potret negeri yang indah dan romantis. Di abad 19, Prancis membara. Rakyat—tepatnya generasi muda—berontak melawan kesewenang-wenangan raja yang punya kuasa absolut. Sejarah ini kita kenal sebagai June Rebellion atau Pemberontakan Juni pada 5-6 Juni 1832.

Kita tidak akan membicarakan drama percintaan Les Miserables di sini; Cosette dan Marius, atau cinta rumit Ephonine kepada Marius. Kita langsung bicara soal Gavroche, sosok kecil yang dari matanya tersirat begitu banyak energi dan semangat tempur.

Gavroche, dalam Les Miserables karya Victor Hugo (1862), adalah anak lelaki yang hidup di jalanan. Dalam bahasa Prancis, gavroche artinya “anak jalanan” dan “anak nakal”. Dan ya, Gavroche memang tidur di jalan, di sebelah patung gajah di Bastille.

Tubuhnya kecil, tapi suaranya menggelegar. Ketika Enjolras, pemimpin kaum pemberontak, mengatakan pihak mereka kehabisan peluru, Gavroche yang tadinya berada di balik barikade, maju ke garda depan, jauh ke depan, di depan barikade. Ia mengumpulkan peluru-peluru dari para tentara Prancis yang sudah gugur, seraya menantang musuh yang masih hidup di hadapannya. Gavroche lalu diberondong peluru dan mati tertembak.

Matinya Gavroche malah membikin para pemberontak membara. Meskipun kalah jumlah dan pasokan senjata, mereka melawan sampai akhir, sampai akhirnya mereka gugur. Anak kecil ini sudah berhasil menjadi pelatuk dalam perjuangan rakyat Paris.

Innocent Voices
Sutradara: Luis Mandoki. Pemeran: Carlos Padilla, Leonor Varela, Xuna Primus, Gustavo Muñoz, Ofelia Medina, Daniel Giménez Cacho, Paulina Gaitán. Rilis: 2004.
Kita beranjak ke El Salvador di era 1980-1992. Perang saudara pecah. Pemerintah militer sayap kanan El Salvador berhadap-hadapan langsung dengan Front Pembebasan Nasional Farabundo Marti (FMLN). Yang terakhir, digadang-gadang sebagai kaum pemberontak.

Chava, anak tertua dari seorang perempuan bernama Kella, lahir dan tumbuh di El Salvador. Tanpa ayah, karena sang ayah sudah meninggalkan El Salvador ketika perang dimulai untuk pergi ke AS.

Usia Chava masuk 11 ketika perang pecah. Usia yang rawan bagi anak-anak di El Salvador masa itu. Ini adalah usia ketika anak lelaki sudah cukup besar untuk wajib militer Pemerintah El Salvador. Tepatnya, usia 12. Karena perang saudara semakin gawat, pihak militer pemerintah masuk ke sekolah-sekolah dan merekrut paksa siswa-siswa yang sudah berusia 12, atau bahkan yang baru mendekati.

Wajib militer di El Salvador artinya bukan duduk di kelas, dan mendapat pendidikan dasar kemiliteran. Wajib militer di El Salvador artinya anak-anak ini diharuskan berada di garda depan perang saudara. Anak-anak El Salvador ini menjadi umpan bagi pasukan pemberontak.

Bahaya dan perang tentu saja bukan aksesori yang cocok untuk anak-anak. Terlalu berat. Tapi, anak-anak El Salvador harus terlibat di dalamnya.

“Tanyakan pada setiap anak-anak yang berusia 12 tahun di El Salvador, apakah mereka ingin ikut perang atau tidak? Jawabannya pasti tidak. Masalahnya, banyak anak yang tidak punya pilihan,” ini kata Torres, tokoh nyata yang menjadi inspirasi Luis Mandoki untuk karakter Chava. Kini, usia Torres sekitar 33 tahun.

Chava dan teman-teman sekolahnya lalu terbelah menjadi dua; mereka yang ‘berhasil’ direkrut pemerintah militer, dan mereka yang kabur lalu memutuskan bergabung dengan gerilyawan. Chava memilih yang terakhir.

Dilema muncul ketika baku tembak dengan tentara, anak-anak pejuang ini berhadapan dengan teman-temannya sendiri di sekolah yang memihak militer. Pilihannya cuma dua: dibunuh atau membunuh. Banyak pejuang anak yang gugur. Ketika anak-anak lain menikmati Tamiya atau menghabiskan hari libur dengan nonton Doraemon di televisi, anak-anak El Salvador bermain-main dengan maut. Innocent Voices memotret perjuangan anak-anak El Salvador ini.

Tidak hanya El Salvador ternyata, ada banyak negara lain di dunia yang memanfaatkan anak-anak sebagai tentara. Sebut saja, Afghanistan, Liberia, Sierra Leone, Sudan, Uganda, Kongo, Rwanda, Burundi, sampai Myanmar. Di Uganda bagian utara, kelompok pemberontak yang bernama The Lord’s Resistance Army menggunakan tentara anak 17 tahun melawan pemerintah Uganda antara 2002-2004.

Sekitar 20.000 anak-anak diculik oleh LRA untuk dijadikan tentara atau budak seks. Di Myanmar, sebanyak 350.000 anak-anak di bawah 18 direkrut di pasar, stasiun, di tempat-tempat publik lainnya untuk bergabung dengan militer. Pilihannya, setuju bergabung atau dipenjara.

Namun, kehidupan membaik di beberapa negara berkat exposure besar soal penggunaan tentara anak ini. Wajib militer di beberapa negara dihapuskan, seperti Amerika Serikat. Sisanya, sedang diusahakan untuk ditiadakan—walaupun beberapa yang lain masih juga mewajibkan wamil.

Anne Frank – The Whole Story: Hidup dalam Kamp Pengungsian
Sutradara: Robert Dornhelm. Pemeran: Ben Kingsley, Brenda Blethyn, Lily Taylor, Hannah Taylor-Gordon, Tatjana Blacher, Jessica Manley. Rilis: 2001.
Yahudi dan Nazi jelas bukan kawan karib. Malah ada kala saat Jerman dan para penghuni kamp konsentrasi berseragam abu garis-garis tidak setara. Yang satu jauh lebih superior, dibandingkan yang lain.

Anne Frank adalah satu kisah panjang perjalanan kaum Yahudi di masa kekuasaan Nazi. Kisah Anne sudah banyak disiarkan di mana-mana dalam berbagai bentuk; buku, film, sampai serial TV. Bicara masalah kemerdekaan, ini adalah salah satu masa gelap di mana bukan Tuhan satu-satunya yang mampu mengambil nyawa manusia. Ada manusia-manusia lain yang bisa, biarpun tidak berhak; para Nazi Jerman.

Semua kelihatan dari kacamata Anne, anak perempuan dari keluarga Yahudi di Belanda. Hidup Anne Frank dan banyak orang Yahudi Belanda tadinya nyaman-nyaman saja. Sampai akhirnya Nazi menyerang Negeri Kincir Angin dan menguasainya di masa Perang Dunia II. Anne dan semua Yahudi mesti mengenakan tanda di dada. Akibat tanda ini panjang. Salah satunya, tidak bisa sekolah di sekolah umum. Semua diawasi dan dibatasi.

Sebuah kado buku harian bermotif kotak-kotak yang sedang populer kala itu diberikan orangtua Anne di ulang tahunnya ke-13. Terberkatilah. Berkat kado ini, Anne kemudian menuliskan segala peristiwa yang pada akhirnya terpapar jelas dalam film. Sekali lagi, semua dari kacamata Anne.

Mulai dari awal Jerman menguasai Belanda, Anne sudah menulis. Hingga keluarga Frank—Otto (ayah), Edith (ibu), Margot (kakak)—pindah ke sebuah tempat bernama Secret Annex demi selamat dari kamp pengungsian. Tapi, upaya sembunyi mereka tidak sukses. Ada yang membocorkan keberadaan mereka. Keluarga Frank lalu dikirim ke kamp sementara di Westerbork, untuk kemudian dipindahkan lagi ke Auschwitz, tempat mereka harus berseragam garis-garis dan rambut mereka dicukur habis.

Di kamp konsentrasi Auschwitz, perempuan dan laki-laki dipisah. Karena itu, Otto entah di mana; tidak terlacak oleh diary Anne. Sementara, Anne dan Margot dipindahkan lagi ke Bergen-Belsen. Edith tertinggal di Auschwitz.

Tipes lalu menyerang Margot. Ia meninggal tidak lama kemudian, diikuti oleh Anne. Sementara, Edith ternyata diketahui meninggal pula karena malnutrisi dan kehausan di Auschwitz. Otto berhasil bertahan sampai Nazi hilang kuasa.

Melalui mata Anne, kita bisa merasakan sendiri suasana kengerian holocaust kala itu. Anne hanya anak-anak sebetulnya, yang pada akhirnya harus tumbuh dewasa di kamp pengungsian ‘hanya’ karena ia Yahudi.
Anne Frank seolah menjadi wakil bagi anak-anak Yahudi lain yang harus terkungkung dalam kamp konsentrasi. Untuk kemudian perlahan mati karena sakit atau dipaksa mati karena gas. Tapi setidaknya ia tidak menyerah. Ia berusaha hidup, meskipun dalam kamp.

Turtles Can Fly: Perjuangan adalah Soal Bertahan Hidup
Sutradara: Bahman Ghobadi. Pemeran: Soran Ebrahim, Avaz Latif, Saddam Hossein Feysal, Abdol Rahman Karim. Rilis: 2004.

Kita dibawa ke Irak—tepatnya Irak Utara, di kantong bangsa Kurdi—oleh Bahman Ghobadi. Latar waktunya adalah di masa Perang Teluk kedua nyaris pecah. Tepat ketika Irak berada di ambang invasi Amerika.
Di perbatasan Irak dan Turki, di masa Saddam Hussein berkuasa, anak-anak Irak bertahan hidup di kamp-kamp pengungsian. Ada Satellite, anak yang dianggap sebagai pemimpin anak-anak lainnya karena paling energetic dan dinamis. Lalu, ada pula Agrin, anak perempuan yang membuat Satellite jatuh hati. Serta, Hegrov—kakak Agrin—dan Riga, anak Agrin yang lahir setelah Agrin diperkosa oleh para tentara Irak di desa asalnya.

Di tengah beban hidup tanpa orangtua, ditambah deraan ancaman perang antara Amerika dan Irak, anak-anak ini melakukan segala kerja untuk dapat menghasilkan uang, termasuk mengumpulkan ranjau aktif untuk kemudian menjualnya kepada tentara Amerika.

Kematian rasanya begitu dekat, tapi mereka tidak gentar. Bahkan, ketika akhirnya tentara Amerika berhasil menginvasi kamp pengungsian, anak-anak ini bertahan sampai akhir. Sampai perang akhirnya pecah.

Bahman Ghobadi, sutradara keturunan Iran-Kurdi, ingin menunjukkan dalam layar besar keberanian anak-anak ini dan akibat perang yang ditimbulkan pada mereka. Bahwa, kediktatoran Saddam Hussein dan keberpihakannya terhadap upaya invasi Amerika tidak ada indah-indahnya bagi anak-anak di perbatasan ini.

 

SPECIAL MENTION:
Fortress of War
Winter in a Wartime
Empire of the State
The Boy with the Stripped Pajamas
Grave of the Fireflies

2 Comments Add yours

  1. Ransel Usang says:

    Jika ditanya nasionalisme ? Saya malu karena belum melakukan apapun atau sesuatu yang berguna bagi negara. Tapi ingin sekali berbuat sesuatu hal agar nasionalisme tidak luntur di gerus zaman dan perkembangan negara yang semakin di kuasai kepentingan masing masing

    1. Atre says:

      Aku pikir, nggak perlu dimulai dari hal yang besar-besar dulu. Cukup dari diri sendiri. Dengan menulis yang baik tentang Indonesia, berupaya tidak ikut melanggar peraturan atau norma yang berlaku di negara ini, atau dengan berbuat sesuatu yang kecil-kecil, sepertinya permulaan yang bagus. Iya nggak sik? Aku sih mikirnya gitu dulu aja 🙂

Leave a comment