Travel Writing: Menanti Ip Man Melintas – Majalah Maxim Indonesia

Perjalanan kali ini membawa saya kepada nuansa masa lalu. Semua berkaitan erat dengan Dandels, Zeng He, sampai Tionghoa.

Lewat jendela Patas AC, saya memandangi jalan panjang beraspal yang disebut Jalan Nasional Rute 1, atau lebih dikenal dengan Jalur Pantura (Pantai Utara). Truk-truk sesekali menyusul atau disusul. Kompetitif. Jalur ini memang dikenal padat, karena merupakan jalur utama yang melewati 5 provinsi sekaligus di sepanjang pesisir pantai utara Jawa; Banten, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan mentok di Jawa Timur.

Dari Semarang, saya menikmati Pantura hingga berhenti di sebuah kota yang masih berada dalam wilayah Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Jarak tempuh habis sekitar 3 jam.

Sedetik setelah menginjakkan kaki di Tanah Rembang, saya baru sadar. Jalur yang saya lalui sedari Semarang tadi adalah jalur tua yang sudah ada sejak zaman kolonial Belanda. Kedua kaki saya menginjak Jalan Raya Pos atau disebut dengan De Groote Postweg dalam bahasa Belanda. Jalan ini dibangun pada 1807, zaman kolonial Belanda di bawah perintah Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels. Maka itu, jalan ini sering juga disebut Jalan Raya Daendels.

Kalau ini film anime, mungkin detik saat kedua kaki saya menginjakkan kaki tadi, ada perubahan latar waktu dari masa kini ke masa lalu dengan bunyi woooof yang dramatis. Supaya lebih seru, Andrew Neiman menggebuk drumnya cepat (sesuai tempo, tentu saja) dan memainkan “Whiplash” dari Hank Levy untuk jadi latar musiknya. Karena begitulah pikiran saya saat itu: seperti terlempar kembali ke zaman kolonial Belanda seketika itu juga.

Dramatisasi Jalan Raya Pos sudah mereda ketika saya sudah tidak lagi secara harfiah berdiri di atas aspal jalan tersebut. Saya kini sudah memasuki sebuah gang seukuran lebar badan sebuah mobil bernama Jalan Dasun. Perjalanan kali ini saya lakukan bersama lima kawan lainnya; Agni Malagina, Ellen Kusuma, Feri Latief, Rommy Yulius, dan Mas Ateng. Saya juga bertemu dengan Mas Baskoro, atau lebih terkenal dengan panggilan Mas Pop, punggawa @LasemHeritage. Orang ini adalah orang yang harus ditemui jika ingin mengeksplorasi Lasem.

Saya sempat sadar dan kembali lagi ke masa kini saat mengingat perut yang lapar dan saya menginginkan Burger King saat itu. Tapi, begitu memasuki gang lebih dalam, saya seperti tersedot lagi ke masa lampau. Saya sampai celangak-celinguk, jangan-jangan tergeletak portkey di mana-mana, dan saya yang sembarangan menyentuh apa saja, kerap melompat-lompat ke masa lalu, lalu masa kini, dan kembali ke masa lalu lagi. Tapi, ternyata bukan karena portkey. Ini ‘hanya’ karena kota ini memang ajaib. Waktu seperti berhenti di kisaran abad 14-18 di sini.

***

Kota ini kerap disebut oleh orang-orang Prancis dengan nama Petit Chinois (China Kecil). Seorang peneliti asal Eropa pada zaman kolonial memilih sebutan The Little Beijing Old Town. Keduanya menggambarkan betapa kota ini mengingatkan mereka pada Negeri Tirai Bambu. Bukan tanpa alasan.

Kita sedang bicara tentang Lasem. Jaraknya sekitar 15 km sebelah timur Rembang.

Menarik jauh ke belakang, Lasem adalah salah satu kota yang masuk dalam kekuasaan Kerajaan Majapahit. Bhre Lasem, anak Hayam Wuruk, menjadi raja di Lasem. Lasem memiliki kerajaan sendiri bernama Kerajaan Lasem, tapi tetap di bawah kekuasaan Majapahit. Istilahnya, Lasem adalah bhre dari Majapahit. Bhre sama dengan negara bagian.

Letak Lasem strategis karena dekat dengan pantai. Terdapat pelabuhan besar bernama Pelabuhan Lasem pada zaman itu, yang ramai oleh lalu lintas kapal-kapal yang memenuhi Kali Lasem. Termasuk, kapal-kapal para pedagang dari luar negeri, seperti Tiongkok dan Campa (dulu menguasai Vietnam).

Rupanya, banyak pedagang Tiongkok dan Campa itu yang memutuskan tinggal di Lasem pada masa itu. Terbukti, banyak rumah tua berarsitektur khas Tionghoa berjajar di gang-gang Lasem, seperti di Jalan Babagan, Jalan Karangturi, Jalan Soditan, atau Jalan Dasun. Rumah-rumah ini berciri pagar tembok tinggi sampai menutupi rumah, dengan gerbang pintu kayu jati yang kokoh dan besar berbentuk gapura.

Lasem - atre

Seperti ketika saya berkesempatan singgah ke rumah Opa Lo Geng Gwan dan Oma Lim Luang Niang di Jalan Karangturi, atau rumah Opa Lie Hinj Djoen di Jalan Babagan. Ketika membuka gerbang tersebut, kita akan melihat bagian halaman depan rumah, sebelum sampai di bangunan rumah dengan dinding kayu, dan teras besar di depannya. Kadang-kadang, ada dua tiang penyangga di teras, foto-foto lawas dari nenek moyang serta kaca-kaca besar yang tergantung di dinding-dinding teras, mengapit pintu utama di tengah. Selalu, selalu ada set meja-kursi di area teras. Sebab, rupanya, kebiasaan orang Tionghoa zaman dulu adalah menjamu tamu di luar, tidak di bagian dalam rumah. Lalu, di bagian belakang, ada halaman, teras belakang untuk dapur, dan bangunan lain yang biasanya difungsikan sebagai gudang.

P1100925
Foto: Ellen Kusuma

Saya mau tidak mau jaga-jaga kalau-kalau tiba-tiba Ip Man atau Wong Fei Hung melintas atau mampir di rumah Opa Gwan saat saya asyik duduk-duduk di teras. Maaf, saya terbawa suasana nuansa Pecinan tua di Lasem ini.

Teras rumah pecinan Lasem - atre

Orang-orang Tionghoa datang ke Lasem (Lao Sam) diketahui berkisar abad 14-15. Tidak hanya Lasem, mereka juga datang ke Sampotoalang (Semarang) dan Ujung Galuh (Surabaya). Laksamana Zeng He (Cheng Ho), utusan politik Kaisar Tiongkok Dinasti Ming, ke Lasem sekitar tahun 1413, juga akhirnya komunitas Tionghoa di Lasem semakin banyak. Terlebih, banyak dari anak buah kapal dan keluarga dari Zeng He itu tinggal dan menetap di Lasem, tepatnya mereka memilih Babagan sebagai tempat tinggal.

Rumah-rumah tua di kawasan Pecinan Lasem ini kemungkinan besar juga bertahan sejak zaman itu. Opa Gwan sendiri mengakui, sudah bergenerasi-generasi sejak keluarganya tinggal di rumahnya di Karangturi itu. Kemungkinan sejak abad 14, coba bayangkan! Beberapa rumah memang sudah lumat dimakan waktu dan rayap-rayap. Tapi, beberapa yang lain masih terawat dan lestari.

Tidak hanya rumah, bangunan-bangunan lain yang juga menarik untuk didatangi saat ke Lasem adalah klenteng-klenteng tuanya. Ada tiga klenteng yang paling wajib kunjung, tidak hanya karena keindahannya, tapi juga karena nilai historisnya. Saya hanya sempat mengunjungi dua dari tiga klenteng tersebut.

Klenteng Lasem - atre

Dengan motor pinjaman, saya berkunjung ke dua klenteng. Klenteng pertama yang saya datangi adalah Klenteng Gie Yong Bio di Jalan Babagan No. 7, Lasem. Pada klenteng tersebut, tercantum bahwa klenteng ini dibangun pada 1780 untuk menghormati para pahlawan Lasem, yaitu Oey Ing Kiat, Tan Kee Wie, dan Raden Panji Margono, yang gugur dalam perang melawan VOC pada 1742 dan 1750. Ketiganya kemudian dipuja-puja sebagai dewa, di samping dewa-dewa seperti Gie Yong Kong Co dan Hok Tik Tjeng Sien.

“Silakan, Mbak, ke belakang. Altar Raden Panji Margono ada di belakang,” kata seorang perempuan penjaga klenteng.

Di sinilah yang menarik dari Gie Yong Bio. Untuk pertama kalinya, seorang Jawa, yaitu Adipati Lasem Raden Panji Margono menjadi dewa, dan memiliki altar doa sendiri. Saya melihat altar itu berbeda dari altar dewa-dewa biasanya yang berwarna merah. Altar Raden Panji Margono berwarna coklat tua, sewarna kayu. Lalu, ada patung Raden Panji Margono dengan pakaian kejawaan lengkap: beskap, kain jarik, serta blangkon. Di hadapannya, ada beberapa tusuk dupa yang menyala dan berasap.

Panji Margono Lasem - atre

Altar-altar megah dan lampion-lampion besar dengan dominasi warna merah, selalu mampu membuat saya kagum. Tapi, khusus untuk Gie Yong Bio, lukisan pada dinding yang sangat detail (mengingatkan kita akan komik Kho Ping Ho) adalah bagian dari klenteng yang paling menakjubkan.

Lukisan di tembok klenteng Lasem

Setelahnya, saya mendatangi Klenteng Cu An Kiong di Jalan Dasun 19, Lasem. Inilah klenteng tertua di Lasem, yang terletak di jalan yang juga tertua di Lasem; Jalan Dasun. Tidak ada tahun pasti pendirian klenteng ini, hanya saja, pada prasasti di dalam klenteng, tersebut bahwa klenteng ini diperbaiki sekitar tahun 1838. Meski berusia sangat tua, klenteng ini mengalami renovasi berkali-kali setelah itu, seperti pada 1950-an dan 1960-an. Karena itu, bangunan Cu An Kiong masih terawat.

Jika sedang ada di Cu An Kiong, sempatkan mampir ke bangunan tua lain tepat di sebelah klenteng. Yaitu, Lawang Ombo yang artinya pintu besar. Nama itu sesuai dengan wujud rumah tersebut yang memiliki pintu besar berwarna kuning. Sebelum masuk, akan ada anjing-anjing yang menyambut kita. Sayang, ketika masuk, banyak spanduk iklan yang terpampang di dinding-dinding pagar, meja panjang di teras depan rumah, sampai di dinding bagian belakang rumah. Ini sedikit mengganggu keasrian rumah yang diperuntukkan sebagai cagar budaya ini.

Lawang Ombo dibangun sekitar 1860-an. Pemiliknya adalah seorang Tionghoa bernama Liem Kok Sing. Ia adalah saudagar sukses di Lasem. Opium adalah salah satu barang dagangannya. Karena itu, Lawang Ombo sering juga disebut dengan Rumah Candu (candu = opium).

Begitu pintu besar berwarna kuning di Lawang Ombo terbuka, kita akan bisa segera melihat altar doa besar di tengah ruangan. Di dinding mengapit altar tersebut, bergantung foto-foto hitam putih nenek moyang keluarga Liem. Foto-foto yang sangat hidup, menurut saya. Ada empat kamar kosong di rumah utama Lawang Ombo.

“Sudah lihat lubang di kamar belakang sana?” kata Mas Pop. Saya mengangguk.

Salah satu kamar memiliki lubang seukuran pinggang orang dewasa, yang jika sekarang kita lihat, hanya ada kegelapan di sana. Dulu, lubang ini ternyata digunakan sebagai jalan untuk menyelundupkan opium. Dari lubang ini, akan ada orang dengan perahu yang menunggu di bawah, untuk kemudian menembus langsung ke Kali Lasem yang ada di seberang Lawang Ombo.

Di bagian belakang, ada rumah lain yang lebih kecil bertingkat. Di sebelah rumah tersebut, ada makam dengan tanda nisan bernama Liem Kok Sing.

Kini, Lawang Ombo dimiliki oleh Tjoo Boen Hong atau biasa disapa dengan Om Soebagio. Bangunan ini dibiarkan kosong. Meski bangunan utamanya masih kokoh, tetapi interior rumah dibiarkan tidak terawat. Banyak debu dan rongsokan kursi atau ranjang kayu di mana-mana. Membuat suasana rumah terasa mampu mendirikan bulu kuduk.

 

***

 

Keputusan para pedagang Tionghoa untuk menetap di Lasem rupanya tidak hanya mempengaruhi kekayaan arsitektur kota ini. Tapi, juga kesenian lain, yaitu batik. Berdasarkan Kitab Badrasanti (1478 M), batik di Lasem mulai dikenal sekitar tahun 1420 M, ketika anak buah kapal Zeng He (Cheng Ho) bernama Bi Nong Hua dan sang istri, Na Li Ni dari Kerajaan Champa, memutuskan tinggal di Lasem, tepatnya di Babagan. Na Li Ni kemudian mengajarkan teknik batik kepada masyarakat Lasem. Karena itu, batik Lasem mendapat pengaruh yang kuat dari budaya Tionghoa, salah satunya melalui warna batik yang merah berani, atau disebut abang getih pithik (warna darah ayam).

Batik Lasem - atre

Batik Lasem atau Laseman kemudian berkembang, dan memiliki banyak warna khas, seperti Bang-bangan (merah), Tiga Negeri (merah-biru-cokelat), Bang-Biron (merah-biru), Es Teh atau Sogan (kekuningan), Biron (biru), dan Empat Negeri atau Tiga Negeri Ungon (merah-biru-soga-ungu). Sementara, untuk motif, batik Lasem punya banyak ragam, mulai dari yang terpengaruh budaya Tionghoa, seperti motif burung hong (phoenix), naga, koin uang, dan bunga seruni; sampai bermotif lokal, seperti Sekar Jagad, Pasiran Kawung, Kawung Babagan, Sekar Srengsengan, dan Sido Mukti.

“Ayo ke Babagan. Cari batik!” kata Agni, salah satu kawan perjalanan saya.

Wah, alhasil, saya membeli sampai empat helai batik dengan beragam warna: Bang-bangan satu, Biron satu, Empat Negeri dua. Kisaran harga batik Lasem antara Rp150 ribu-jutaan. Ah, saya jatuh cinta!

 

***

 

Saya menyeruput kopi kental dalam cangkir kecil di Warung Jinghe, Jalan Karangturi. Setiap pagi, selama di Lasem, inilah hal pertama yang saya, dan ternyata juga masyarakat Lasem lakukan setiap pagi. Datang ke warung kopi, sarapan ketan dan goreng-gorengan, lalu pesan kopi hitam. Nongkrong di warung adalah rutinitas setiap pagi sebagai waktu untuk ngobrol dan tetap bersilaturahmi dengan tetangga. Sembari ngobrol tentang apa saja, mereka biasa meleletkan (menempelkan) ampas kopi yang sudah dicampur susu putih ke rokok mereka.

“Dikasih susu supaya lengket ini di rokok,” kata Pak Shodiq, salah satu warga yang pagi itu sedang asyik membuat rokok lelet.

Kopi lelet Lasem - atre

Begitu saya tanya rasanya, dia bilang, “Rokoknya jadi agak lebih pedas, tapi ada aroma kopinya. Coba, Mbak?”

Saya terpaksa menolak, karena saya memang tidak merokok. Saya hanya ketagihan pada kopi hitam Lasem yang kental itu.

Biasanya, sekitar jam 8-an, mereka beranjak dari warung lalu berangkat kerja. Saya dan kawan-kawan biasanya mager di warung kopi sampai jam 10, baru kemudian kembali berkeliling Lasem. Sekitar sore hari, warung kopi kembali ramai.

Ngopi lasem - atre

Hidup sederhana di Beijing Kecil ini seperti memamah candu. Ketagihan. Meskipun Lasem seolah memutuskan untuk menghentikan waktu sejak berabad-abad yang lalu, tapi kota ini seperti orang tua yang bijak—yang meski tidak ingin berubah, tapi selalu mampu menginspirasi lingkungan di sekitarnya.

“Wah, saya mesti mengutip kata-kata Henry Miller ini,” kata Mas Pop tiba-tiba sewaktu saya tanya kenapa cinta pada Lasem.

Mas Pop Lasem - atre

Lasem is never a place, but a new way of seeing things!” kata Mas Pop tergelak karena telah bernyali memodifikasi kutipan terkenal Henry Miller, penulis besar Amerika Serikat.

Tapi, kemudian ia terdiam, pertanda ia serius. Ya, Lasem memang bukan sekadar tempat biasa. Seperti saya bilang, ia magis.

 

(Tulisan ini terbit di Majalah Maxim Indonesia edisi Januari 2016)

Maxim Indonesia - Astri Apriyani

2 Comments Add yours

Leave a comment