Bincang-Bincang di Beranda

Hello, my oldest best friend, Renjanatuju…

Sudah lama betul rasanya aku ingin bercerita padamu tentang apa yang terjadi di hidupku. Terakhir kali aku benar-benar menuang semua isi botol—bukan dalam bentuk sajak, bukan fiksi, bukan cerita pendek, bukan pula karya-karya—, tapi murni ocehanku yang tak punya kerangka, tak jelas juntrungannya, ah– aku bahkan tidak ingat. Mungkin, curahan hati yang kumaksud itu pun sudah bersembunyi di halaman belakang, di lubang draft yang kau saja tidak mau lagi orang lain membacanya.

Hai, Renjanatuju. Kau tahu, hari ini, hampir menjelang hari ulang tahunku di tahun 2022. Di tengah malam, di bulan Ramadan. Waktu sahur masih dua jam lagi. Waktu tidur sebetulnya sudah lewat tiga jam. Yah, kau tahu sendiri, aku selalu tidak bisa tidur. Bertambah karena dekat hari bertambahnya usia, selalu ada perasaan kaku, kejur, kejat-kejat yang aku tak tahu bersumber dari mana. Sewaktu masih lebih muda, mungkin kejur ini muncul karena tegang menghadapi masa depan yang serba tak pasti. Sedikit bagiannya, muncul karena aku—jujur saja—takut mati. Namun, sekarang, jelang pertengahan 30, yang kupikir kekakuanku terhadap hidup bisa hilang, ternyata tetap ada juga. Kali ini, entah karena apa. Aku toh tak lagi takut mati. Setiap bangun tidur bahkan aku malah berpikir, “Kenapa aku masih juga belum mati? Tak sayangkah Tuhan padaku?”

Kalau kau bertanya apa aku baik-baik saja, hari ini di detik ini aku mau jujur saja. Aku baik-baik saja, tapi tidak baik-baik saja. Aku juga bingung. Seberapa besar hati manusia sampai bisa merasakan berbagai macam perasaan yang kontradiksi dalam waktu yang bersamaan? Aku bahagia, tapi tak bahagia.

Kau tahu, laki-laki yang seringkali aku sebut-sebut kepadamu, yang kerap datang di tiap mimpiku, di tiap harapanku, di tiap doaku, dia sudah tidak ada. Bukan mati, hanya menjelma masa lalu. Tepat ketika dunia ini sibuk berduka karena pandemi yang merenggut banyak nyawa dua tahun lalu, aku rasa aku sempat ikut mati suri waktu itu. Bukan karena terjangkit pandemi, tapi karena merasakan betapa brutalnya patah hati. Sendirian.

Mungkin baru kali ini aku betul-betul mengatakannya keras-keras bahwa ada masa di mana aku tak bisa melakukan apa-apa; tak bisa tidur, tak ada keinginan bekerja, tak nafsu makan, tak bisa berhenti menangis, tak ingin hidup. Tipikal manusia yang kehilangan pegangan dan kehilangan arah. Setelah dua tahun, aku akhirnya bisa menyampaikan padamu bahwa lucu betul aku waktu itu. Kau pasti terbahak-bahak kalau melihat aku berdiri di atas kursi di balkon dan menimbang-nimbang untuk terbang. Aku bahkan bisa mendengarkan tawamu sekarang samar-samar. Setelah dua tahun, aku sudah bisa tertawa bersamamu. Mengatakannya lagi saja aku merasa betapa konyol aku saat itu.

Kau sudah sering bilang, memang, tak ada satu pun di dunia ini yang bersifat selamanya. Tapi kau pun tahu kalau aku seringkali percaya pada pengecualian. Aku merasa bisa menjadi yang istimewa dan yang berbeda. Sebuah kenaifan paling grande yang pernah aku katakan dan yang pernah aku yakini. Jangan-jangan kau bersekongkol dengan kehidupan untuk membuktikan bahwa manusia paling baik sekalipun bisa menjadi jahat dan orang paling setia sekalipun bisa berkhianat? Kalau iya, jahat betul kau.

Suatu hari, beberapa bulan sejak mati suri, aku ingat sinar matahari pagi dari balkon membangunkanku yang waktu itu mungkin baru tidur dini hari. Biasanya, aku akan merasa jengkel karena masih ingin tidur lelap. Tapi hari itu, aku diam saja. Aku tak bergerak dari posisi tidurku. Aku dengan rela membuka mata dan menatap jauh ke arah langit. Tidak ingin menantang matahari, tapi justru merasakan hangat sinarnya hari itu.

Aneh, pagi itu, tiba-tiba aku teringat bapak. Kau tahu bapakku? Orang pertama yang mematahkan hatiku waktu aku masih sangat kecil, saat aku bahkan tidak begitu mengerti arti cinta. Aku hanya paham arti kehadiran. Bahwa kehadiran adalah bentuk cinta, aku dulu mana tahu. Pokoknya, pagi itu, aku seperti merasakan epiphany. Kalau aku mampu terus hidup setelah bapak pergi, mestinya patah hati kali ini tak ada apa-apanya.

Aku ingat betul, aku lalu duduk lama sekali di balkon, menyerap semua sinar yang mampir dan tak terasa membuat lenganku hitam belang. Tapi aku tak kesal. Sembari berkeringat, aku tersenyum setelah sekian lama tidak. Aku tak punya kemarahan apa-apa lagi di hatiku. Aku rela. Aku kembali senang bekerja. Aku masih sulit tidur, karena seringkali mimpi buruk masih suka datang, tapi aku sudah bisa mengenali diriku lagi. Aku kembali senang main gitar. Aku kembali senang olahraga. Aku semakin suka menari-nari dan berdansa dengan diri sendiri. Hingga suatu hari, aku mulai membuka diri.

Oh, ini toh rasanya bahagia lagi, pikirku.

Kau tahu, ternyata memang menyenangkan untuk menghabiskan waktu dengan orang yang tepat. Pandemi masih berlangsung setahun kemudian, jadi kencan kami sebatas menonton film, duduk-duduk, makan, dan berbincang-bincang sampai pagi. Berkelindan, berpelukan, bergelung nyaman. Berbulan-bulan. Hingga kembali pagi mengingatkanku akan hal-hal yang tak sempat aku pikirkan. Seperti, kok tumben kau tak menulis sajak tentangnya, atau kenapa kau rahasiakan dia dari semua orang?

Apa aku tidak jatuh cinta?

Aku ternyata belum siap untuk jatuh cinta lagi waktu itu. Maka, begitu laki-laki itu melakukan kesalahan—yang kalau dipikir-pikir memang tak bisa ditoleransi—, aku lalu cepat betul memutuskan pergi. Kau tahu, Renjanatuju, aku kembali merasakan patah hati tahun lalu tapi tak besar. Aku baik-baik saja. Kau tak perlu khawatir.

Kata orang, mudah untuk jatuh cinta tapi tak mudah untuk tetap terus cinta. Tidak juga. Jatuh cinta pun kini sulit. Aku pun tak tahu kenapa. Aku pikir aku tahu banyak tentang cinta. Ternyata, aku sok tahu. Aku tak tahu apa-apa tentang satu kata usang yang dipuja-puja semua orang itu. Aku pikir, cinta itu tak bakal berubah selamanya jika kau sudah memilih; mau kau sedang jatuh, mau kau sedang terbang tinggi, mau kau bahagia, mau kau sedang tak bahagia, mau kau kesulitan, mau kau sedang diberi kemudahan, kau bakal tetap cinta pada orang yang kaupilih.

Aku tak terlalu memikirkan tentang cinta belakangan ini. Aku hanya sedang sibuk mulai bermimpi angan-angan baru tentang diriku. Sudah dua tahun, tapi pandemi sekali lagi masih di sini. Kau tahu aku suka beperjalanan atau duduk lama di sebuah kafe dan mengetik? Aku masih belum bisa melakukan itu semua murni karena tak ingin sakit. Aku rindu Bali, aku rindu Jogja, aku rindu Lasem, dan musim dingin di negeri-negeri Eropa.

Aku tak tahu bagaimana hendak mengakhiri curhatan panjang ini, hai, Renjanatuju. Mungkin, aku akan sering-sering mampir dan menghabiskan waktu di beranda bersamamu. Untuk sementara, kau mesti doakan aku supaya aku kuat, sehat, dan bahagia. Aku sepertinya membutuhkan dukunganmu, karena belakangan banyak hal yang tak berjalan sesuai rencanaku entah kenapa. Aku di titik capek sekali, tapi sayang, tak punya kemewahan untuk menyerah dan leyeh-leyeh.

Semangat!

Leave a comment