The Three Faces

Dalam kehidupan, masyarakat Jepang memiliki cara tersendiri untuk memahami jalan panjang psikologi diri sendiri. Mereka kerap merasionalkan emosi, untuk kemudian menyalurkannya ke jalur spiritual. Cara mereka berinteraksi dengan sesama, cara mereka membentuk karakter pribadi, cara mereka mengekspresikan diri, semua itu jelas berbeda—sama seperti, tentu saja, semua manusia di dunia. Namun, masyarakat Jepang secara filosofis, mengenal konsep “Three Faces”. Bahwa setiap dari kita memiliki tiga wajah.

Wajah yang kita dengan sengaja perlihatkan di muka dunia.
Wajah yang kita tunjukkan di hadapan orang-orang terdekat; kerabat dan sahabat-sahabat.
Lalu, wajah yang tak pernah kita tampilkan kepada siapa pun.

Wajah terakhir, wajah ketiga, adalah sebenar-benarnya refleksi diri kita yang sebenarnya—menurut konsep “three faces” di Jepang.

Kita mungkin tanpa sadar sudah mengenal konsep ini, meskipun kita tidak tahu bahwa istilah yang umum disebut di Jepang adalah konsep tiga wajah. Kita mungkin tak cukup pengetahuan hingga bisa mengerti bahwa sesungguhnya ini adalah bentuk dasar dari psikologi. Bahwa tiap wajah menunjukkan karakter yang sama sekali lain, padahal dari satu unit tubuh yang sama. 

Saya pribadi kerap merasa, diri saya di media sosial adalah sosok yang berwajah sendu, terlalu romantis, dan serius. Sementara, bagi keluarga dan orang-orang terdekat, mereka seringkali menganggap bahwa Atre adalah orang yang konyol, senang bercanda, dan riang—karena tanpa sadar, itulah wajah yang sepertinya tampil jika saya nyaman. Namun, bukan hanya saya, tapi kita semua, pernahkah bertanya-tanya, siapa diri kita di dunia jika tanpa ada orang lain? Bagaimana sesungguhnya kita jika sedang sendirian? 

Ada orang-orang yang dengan mudah mengenali dirinya sendiri BAHKAN jika sendirian. Ada orang-orang yang lebih mudah mengenali dirinya sendiri TERUTAMA jika sendirian. Namun, ada pula orang-orang yang justru kehilangan dirinya sendiri SETIAP KALI sendirian.

Mengenali diri sendiri beserta banyak “wajah”-nya adalah perjalanan menjelajah yang tak bakal selesai. Jangka waktunya rasanya berlangsung selamanya, hingga kita mati—setidaknya, hingga kita tidak bisa bersuara atau bertanya lagi, yang hanya terjadi jika kita sekarat atau kita benar-benar mati.

Semoga kita punya cukup waktu untuk mengenal diri kita sendiri, terutama jika kita sedang berhadapan dengan wajah kita sendiri. Karena jika beruntung, mungkin kita akan menemukan “wajah keempat” kita yang tersembunyi. The Fourth Face: wajah yang kita percaya dan yakini.

So, who are you in this world?

#renjanatuju

Leave a comment