Yang Kuno, Yang Bertahan di Desa Tenganan Pegringsingan Bali

Hidupnya sudah panjang. Telah hadir di banyak cerita rakyat dan cerita lisan masyarakat sejak zaman kerajaan kuno. Kabarnya, desa yang dinamai Tenganan Pegringsingan ini awalnya diduduki oleh orang-orang Desa Peneges yang terletak di dekat pantai di sekitaran Candi Dasa. Orang-orang ini punya hubungan dengan masyarakat Desa Teges di Bedahulu Gianyar. Lama-lama konon orang-orang Peneges pindah ke pedalaman atau istilahnya ngetengahang.

Di pedalaman, orang-orang Peneges mbangun desa di antara 3 bukit: bukit kangin (timur), bukit kauh (barat), dan bukit kaja (utara). Karena letaknya di antara 3 bukit itulah, desa ini disebut Tengahan. Dalam perkembangan selanjutnya menjadi Tenganan.

Sementara, soal sebutan Pegringsingan, kabar-kabarnya berasal dari usaha kerajinan khas orang-orang Desa Tenganan, yaitu menenun kain gringsing. Satu-satunya di Bali, dan tempat perajin tenun terbaik.

Desa ini berusaha sangat keras buat bertahan. Rumah-rumah masih tradisional; dinding bata merah, batu sungai, dan tanah dengan atap jerami serta pintu kayu, para penenun yang masih menggunakan alat tenun kayu tradisional, kerajinan tangan lukis pahat daun lontar dan kemiri, sampai masyarakatnya masih menggunakan sistem barter dalam hidup sehari-hari.

Satu dari tiga desa Bali Aga, Tenganan Pegringsingan sampai sekarang juga masih menganut Hukum Adat (Awig-Awig), ketentuan hukum adat desa yang telah tercatat sejak abad 11 dan diperbarui pada 1842.

Di antara ramai turis, semoga kesederhanaan dan kebaikan Tenganan Pegringsingan tetap lestari.

P.s. Beberapa foto oleh Ericksa Rumbiak.

Leave a comment