Travel Writing: New Delhi dalam 48 Jam

India women and saree clothes - Atre - renjanatuju.com

New Delhi adalah tantangan. Banyak orang membenci kota ini karena ketakteraturannya, tapi banyak juga yang mencintainya karena alasan yang sama.

New Delhi menyambut saya di tengah malam. Bandara Internasional Indira Gandhi tak punya kesibukan yang berarti di lorong-lorongnya. Mr. Singh, orang yang menjemput, sudah tiba di pintu kedatangan, memegang kertas bertuliskan Mr. Giri Prasetyo dan Ms. Astri Apriyani. Itu kami.

Mr. Singh adalah sopir taksi, yang diutus oleh pihak penginapan yang kami sewa selama di New Delhi. Taksi di Delhi tidak berbeda dari yang ada di Jakarta. Dan kebetulan, taksi Mr. Singh berwarna putih.

Begitu keluar dari kawasan bandara, saya dikejutkan oleh jalan raya yang masih macet di jam 00.00 lewat sedikit. Mr. Singh cuma bilang, “Jangan heran. New Delhi ini bisa macet sampai 24 jam setiap hari.” Saya yang sudah lelah tak berdaya, cuma bisa menganga.

Kami hanya punya waktu sebentar di kota ini. Jika mobilisasi menggunakan mobil, kemungkinannya waktu habis di jalan. Beruntung, ada Hrish Thota yang biasa saya sapa dengan Dhempe, dan Prasad Np. Keduanya adalah travel blogger asal India, yang menjadi tempat andalan untuk bertanya dan berdiskusi. Berkat mereka, kami memutuskan untuk mengeksplorasi New Delhi dengan metro.

 

HARI PERTAMA

New Delhi, ibukota India sejak 1931 ini, adalah kota metropolitan yang semula adalah pusat kehidupan beberapa kerajaan di India dan kesultanan Delhi—yang paling terkenal adalah Kerajaan Mughal (1649-1857).

Ibukota ini terbagi menjadi dua area: New Delhi dan Old Delhi.

Sesuai dengan namanya, New Delhi adalah kawasan lebih baru yang dibangun pada masa kolonial Inggris pada 1920-1930-an. Sementara, Old Delhi adalah kawasan tua yang berasal dari zaman Kerajaan Mughal tadi. Keduanya tumbuh berdampingan dari masa ke masa. Dan, di hari pertama, kami menjelajah sisi “tua” dari Delhi.

New Delhi Railway Station - Atre - renjanatuju.com

 

Halo, Old Delhi!

Pagi hari, saya mendapati diri dalam keadaan syok ketika keluar hotel menuju stasiun metro terdekat: New Delhi Metro Station. Saya disambut oleh jalan raya yang semrawut, klakson yang bertalu-talu, dan bau pesing di mana-mana.

Dan, karena pada 2016, United States Environtmental Protection Agency memasukkan New Delhi sebagai kota paling berpolusi di bumi, saya merasa lebih nyaman untuk mengenakan masker dan membawa hand sanitizer saat jalan-jalan di kota ini.

Cycle rickshaw atau becak sepeda dan bajaj saling salip. Lalu, saya seketika seperti kembali menjadi anak kecil lagi, yang baru mulai belajar berjalan.

Cycle rickshaw alias becak di India - Atre - renjanatuju.com

Becak pertama kali hadir di India pada 1880. Pertama kali dibawa oleh bangsa Cina untuk digunakan sebagai pengangkut barang-barang dagangan. Baru pada 1914, orang-orang Cina mengajukan perizinan agar becak bisa digunakan untuk mengangkut penumpang.

Langkah saya berantakan. Orang-orang lalu lalang cepat sekali; hampir saya tabrak sana-sini. Saya baru bisa tenang ketika tiba di stasiun metro yang sejuk dan lengang. Sungguh 15 menit yang mendebarkan.

Delhi memiliki sistem transportasi massal bernama The Delhi Metro yang baik. Datang tepat waktu, cepat, aman, dan nyaman ber-AC. Untuk wisatawan, ada kartu metro yang berlaku selama 3 hari seharga Rs500. Disebut dengan Metro Travel Card: 3 Day Tourist Pass. 

Metro Travel Card India New Delhi - Atre - renjanatuju.com

Saya akhirnya memilih membeli kartu ini, karena praktis dan efektif. Praktis karena setiap kali hendak naik metro, tidak perlu antre beli tiket lagi. Tinggal tap. Seperti kartu multi-trip di commuter line Jakarta. Efektif karena di jam-jam tertentu, antrean loket tiket di tiap stasiun itu panjang sekali. Rupanya, kepadatan jam-jam pulang kerja di Delhi sedikit-banyak juga sama seperti di Jakarta.

Ada banyak jalur metro di kota ini. Di New Delhi Station, saya dan Giri memilih jalur kuning (yellow line) untuk bertualang. Kami turun di Chandni Chowk Metro Station, untuk sampai ke area Old Delhi, tepatnya ke Red Fort dan Chandni Chowk. Dari stasiun, kami tinggal berjalan kaki sekitar 300 meter.

 

Chandni Chowk

Rupanya, tiap sudut Delhi selalu ramai dan bising akan klakson. Kian lama, saya terbiasa. Dan Chandni Chowk adalah salah satu pasar tersibuk dan tertua di Old Delhi.

Pasar ini dibangun pada abad ke-17 di masa Kaisar Mughal, dan didesain oleh putrinya bernama Jahanara.

Tidak salah juga kalau disebut sebagai pasar tersibuk. Di seluruh lorong, saya melihat jajaran toko yang dipenuhi oleh beragam barang dagangan. Konon, totalnya ada sekitar 1.560 toko. Mulai dari Fatehpuri Market (tekstil), Dariba Kalan (perhiasan, terutama perak dan emas), Ballimaran (sepatu), Kinari Bazaar (zardozi, kain bordir, dan perhiasan), Moti Bazaar  (mutiara dan syal), serta Meena Bazaar (kain sari premium, pakaian muslim tradisional, perhiasan, sampai tas).

Para pembeli berjalan berdesak-desakan, sesekali bersahut-sahutan saling tawar harga. Kabel-kabel listrik menjuntai-juntai berantakan di langit. Asap kendaraan bertebaran. Klakson tak jemu-jemu berbunyi. Beberapa penjual berteriak menjajakan dagangan. Sebuah keriaan pasar yang sangat nyata.

Kami bahagia di sini dengan alasan yang berbeda. Kalau saya, bisa belanja. Kalau Giri, bisa sepuasnya memotret.

 

Red Fort

Red Fort and local people - Atre - renjanatuju.com

Setelah puas menyusuri Chandni Chowk, mata kami tertuju pada bangunan merah yang sangat luas di hadapan kami. Kami tiba di Lal-Qila atau Red Fort dengan bendera India besar di puncak benteng. Ia dibangun pada 1639 dan selesai sembilan tahun setelahnya. Red Fort terinspirasi dari sebuah benteng Islam yang lebih tua bernama Salimgarh yang dibangun pada 1546. Bentuknya segi delapan dengan dua gerbang utama di barat dan selatan.

Bangunan yang mendapatkan gelar World Heritage Site dari UNESCO ini memang berada di kawasan tak jauh dari Chandni Chowk.

Kami terpikat. Selain karena bangunan ini telah menjadi rumah bagi para kaisar Mughal selama 200 tahun, detail di tiap sudut Red Fort juga begitu asyik. Banyak wisatawan lokal juga terlihat menikmati keindahan Red Fort dari halaman depan. Beberapa orang lokal bahkan tidak sungkan meminta saya menjadi juru foto mereka. Sayang, kami tidak sempat masuk karena waktu yang sedikit.

 

Town Hall

Kami lalu kembali berjalan kaki. Saat sedang asyik berjalan, kami dikejutkan oleh ratusan burung yang terbang bersamaan membentuk bunyi krrrrrr panjangdan menciptakan tiupan angin yang mengibaskan rambut. Asalnya, dari taman di depan Town Hall. Tepatnya, di dekat patung Swami Shraddhanand, yang menggantikan patung Ratu Victoria sejak 1947.

Town Hall - Atre - renjanatuju.com

Town Hall, yang areanya memiliki total luas 16 hektar ini, sudah ada sejak 1863. Ya, bangunan tua yang lain lagi!

Ia dibangun oleh kolonial Inggris. Berwarna kuning lembut, Town Hall ini didesain dengan arsitektur bergaya Victoria dan Edwardia—keduanya berasal dari Inggris. Bangunan ini kental akan kekhasan Victoria, yaitu dipenuhi banyak bingkai jendela dengan ukiran yang cantik, serta pengaruh Edwardia pada dinding yang polos, tidak terlalu banyak ornamen.

 

Jama Masjid

Sore lalu tiba. Terik mereda. Dari Town Hall, saya memandang acak ke sekeliling, sampai akhirnya memandang pucuk sebuah menara. Saya bertanya pada Giri, tapi tak ada jawaban pasti. Sampai akhirnya, kami bertanya pada pengemudi becak sepeda. Ternyata, itu Jama Masjid.

Jama Masjid Delhi - Atre - renjanatuju.com

Saya memandang Giri, memberi kode bahwa tempat itu masuk daftar singkat perjalanan kami. Giri segera meminta tukang becak agar kami diantar ke masjid tersebut.

Sore itu, masjid yang menghadap Ka’bah itu sangat ramai. Banyak orang duduk-duduk di bagian tangga yang ada di bagian depan masjid. Beberapa adalah orang yang meminta sedekah.

Di pintu masuk masjid, kami diberhentikan oleh penjaga. Rupanya, masuk masjid ini harus bayar seharga Rs200-300, dan harus mengenakan pakaian panjang. Saya harus mengenakan jubah berbunga-bunga, dan Giri harus mengenakan sarung yang disediakan oleh pihak masjid sebelum masuk masjid.

Mengagumkan. Itu impresi pertama saya. Masjid yang mulai dibangun pada 1644 dan selesai pada 1656 ini, digagas oleh Kaisar Mughal. Dilihat dari atas, Jama Masjid berbentuk persegi dengan tiga gerbang. Masjid ini dibangun dengan material marmer putih. Sementara, terdapat dinding terbuat dari material sandstone merah yang mengelilingi area masjid, dengan kaligrafi-kaligrafi rapi dan cantik. Lalu, di tengah-tengahnya terdapat kolam yang dikelilingi oleh banyak pengunjung. Beginilah indahnya masjid yang digadang-gadang terbesar di India.

Untuk ke Jama Masjid, kita bisa naik metro jalur kuning dan turun di metro station terdekat dan turunlah di Chawri Bazar. Dari stasiun, kita tinggal jalan kaki atau naik becak.

 

HARI KEDUA

Kami mengawali perjalanan hari kedua dengan mengunjungi Qutub Minar dan Qutb Complex. Sebab, destinasi yang dibangun pada abad 13 dan menjadi salah satu Situs Warisan Dunia UNESCO ini cenderung ramai jika semakin siang. Kami kembali naik metro jalur kuning dan turun di Stasiun Qutub Minar.

Begitu masuk ke wilayah Qutb Complex, yang ada cuma terkesima. Komplek ini berisi bangunan-bangunan tua yang megah dari tahun 1300an yang digagas oleh Alauddin Khilji. Beberapa hanya berupa reruntuhan, tapi sebagian besar masih berdiri kokoh. Seperti, Alai Darwaza Gate dan Qutub Minar, yang berdiri anggun berwarna merah dan putih dari material sandstone dan marmer. Detail di dindingnya begitu apik. Apalagi ditambah bentuk pintu yang sangat besar, dan jendela dengan bingkai berhiaskan pahatan cantik.

Qutub Minar Qutb Complex - Atre - renjanatuju.com

Qutub Minar yang berdiri di sebelah Alai Darwaza tidak kalah gagah. Dibangun sebagai penghormatan untuk tokoh sufi bernama Qutbuddin Bakhtiar Kaki, menara setinggi 72,5 meter ini adalah menara batu bata tertinggi di dunia. Tapi sayang, sejak 1981, Qutub Minar tidak lagi dibuka untuk publik—disebabkan oleh sebuah kecelakaan.

Di luar itu, masih banyak bangunan lain di komplek ini, seperti Quwwatu’l Islam, Alai Minar, Iron Pillar, reruntuhan kuil-kuil Jain, dan berbagai makam para Sultan Delhi, seperti Iltutmish, Alauddin Khilji, dan Imam Zamin. Sempatkan melihat dari dekat tiap-tiap bangunan. Kagumi setiap detail berusia ratusan tahun yang masih eksis. Qutb Complex ini resmi menjadi tempat favorit saya di Delhi.

 

Waktunya Berbelanja

Setelah Qutub Minar, destinasi selanjutnya di hari kedua adalah tentang pasar dan belanja. Keduanya berkaitan, semesra kopi hitam dan air panas. Sebab, tidak lengkap rasanya jika tiap kali traveling tapi tidak mengintip pasar setempat.

 

Connaught Place

Adalah salah satu pusat bisnis dan komersial terbesar di New Delhi. Connaught Place cocok untuk kita yang ingin menemukan barang-barang modern dari brand-brand internasional. Kawasan perbelanjaan dengan bangunan dua lantai bergaya Georgia ini selesai dibangun pada 1933. Bangunannya terinspirasi dari The Royal Crescent di Inggris.

Connaught Place Delhi India - Atre - renjanatuju.com

Selain ada bendera India kedua terbesar di India, Connaught Place terdiri dari beberapa bagian. Inner Circle yang terdiri dari blok A-F, berisi gerai-gerai dari brand kelas A, seperti Adidas Originals, Bentley, Louis Philippe, atau Nike. Outer Circle terdiri dari blok G-P, berisi brand-brand, seperti Lacoste, Omega, dan TAG Heuer.

Tidak hanya gerai barang, Connaught Place juga kawasan yang menyediakan banyak restoran dan kafe internasional. Mulai dari McDonalds sampai Starbucks, ada di sini. Karena itu, kawasan ini selalu dipenuhi oleh anak-anak muda yang tujuan utamanya, ya, hangout.

Jika naik metro, Connaught Place bisa dicapai dengan turun di Rajiv Chowk Station. Lalu, dari stasiun, kita cukup berjalan kaki beberapa menit.

 

Janpath Market

Jalan kaki beberapa menit dari Connaught Place, kami tiba di Janpath Market yang memanjang sekitar 1,5 km. Pasar ini cocok buat yang lebih suka akan barang-barang unik dan khas India.

Di Janpath, terdapat beragam jenis pasar. Ada Tibetan Market yang hanya menjual barang-barang khas Tibet, seperti perhiasan perak, bebatuan, lukisan, atau manik-manik; Gujarati Market untuk barang-barang khas Gujarat, seperti tas, pakaian, atau sprei; Main Market yang menyediakan barang-barang kulit, seperti dompet atau tas, kain sari, syal, sampai kaos; dan Flea Market yang menjual barang-barang bekas.

Oh, it’s my happy place!

 

Dilli Haat

Seluas 6 hektar, Dilli Haat hampir mirip dengan Janpath. Produk-produk yang ditawarkan di Dilli Haat ada berupa ukiran rosewood dan cendana, kain dan gorden, permata, tas, manik-manik, sampai kerajinan logam. Yang membedakannya dengan Connaught Place—selain arstitektur yang tidak modern—, di Dilli Haat banyak pilihan makanan dari berbagai wilayah di India dan sekitarnya. Ada makanan Bengal, Kashmir, Nagaland, Arunachal Pradesh, Rajashtan, sampai Tibet.

Saya menyempatkan diri mencoba gol gappe yang rasanya asam-manis-pedas, aloo tikki yang manis dan asin sekaligus, kulfi es krim India yang lembut dan manis, serta masala tea—teh khas India. Yum.

Hari mulai sore ketika kami selesai menyantap makanan di Dilli Haat. Toko-toko mulai tutup. Para pedagang hendak pulang. Ah, memang adalah sebuah tantangan tersendiri untuk memenuhi hasrat petualangan di New Delhi dalam waktu hanya dua hari. Rasa-rasanya belum puas, tapi sudah harus pergi.

Kapan-kapan jumpa lagi, Delhi!

 

Krisis Uang Tunai

Ketika saya datang di awal 2017, India masih didera krisis uang tunai. Karena itu, setiap turis hanya bisa menukarkan uang senilai Rs5.000/ hari di satu money changer. Sebaiknya, persiapkan kartu kredit atau datang ke money changer secara berkala setiap hari untuk mendapatkan tunai lebih banyak.

 

Foto-foto oleh Astri Apriyani dan Giri Prasetyo.

 

*Tulisan ini adalah versi unedited yang terbit di Majalah National Geographic Traveler

8 Comments Add yours

  1. mysukmana says:

    wanita india itu cantik2 pasti keturunan bombay (gambar pertama) hehee
    kawasan kayak Connaught Place mungkin jadi semacam plazanya kota new dehli ya kak..
    habis dari qutub minar belanja apa kak?

    1. Atre says:

      Kakkkk, pertanyaannyaaaa ga abis-abisss kaaakkkk. Hahahhaa. Yang jelas, perempuan-perempuan India kayak bintang film itu aslinya susah ditemuin di jalanan. Nggak tau yang bening-bening putih gitu pada tinggal di mana.

      Kalo Connaught Place itu semacam tempat nongkrong hits deh; bisa belanja, makan, hang out, gitu.

      1. mysukmana says:

        haha..kenapa deh..klo baca ya sekalian di maremin tanya nya..

      2. Atre says:

        Hahhahahahhaha, gapapaaaa. Kukagetttt. Gimana Solo Masss? Apa kabarr?

      3. mysukmana says:

        alhamdulillah Solo dalam keadaan baik baik saja..tambah macet..pak Jokowi mau mantu hehe

      4. Atre says:

        Huwawwww, rame acara yaaaa. Macetnya pasti masih ga semacet Jakarta, Masssss. Masih harus bersyukuurrr. Hihihihi.

Leave a comment