Para Pelaut Sulawesi di Priok

Jakarta serupa seporsi besar ramen. Dalam satu wadah besar, segala macam bumbu (suku) dengan tingkat kepedasan yang berbeda (tingkatan sosial) menyatu lengkap dengan sayuran, daging, tahu, atau jamur (konflik yang menyertai).

Keberagaman Jakarta sudah diterima sebagai suatu hal yang wajar sekarang ini. Sudah biasa rasanya jika tiba-tiba kita mendengar obrolan berbahasa Jawa medhok di transJakarta, misalnya. Atau, di terminal, ada teriakan-teriakan berbahasa Batak. Karena toh sebagai ibukota, Jakarta telah menjadi tujuan untuk mengadu nasib oleh orang-orang dari seluruh penjuru Indonesia. Entah bagaimana nanti ketika ibukota sudah pindah ke Kalimantan, mungkin bisa jadi lain ceritanya.

Hanya saja, lalu ada rasa ingin tahu yang besar ketika suatu wilayah tertentu didominasi oleh pendatang yang mayoritas berasal dari satu suku tertentu. Ini yang saya temukan beberapa tahun lalu tentang dominasi orang Sulawesi di satu wilayah Tanjung Priok. Rasa ingin tahu yang akhirnya menggerakkan saya untuk ‘main’ ke wilayah.

Melalui beberapa wawancara dan penelurusan langsung ke berbagai wilayah di Tanjung Priok yang beberapa tahun lalu dilakukan untuk sebuah media, saya mencari tahu asal mula keberadaan orang Sulawesi di Tanjung Priok, sampai melihat sendiri sisi kesulawesi-sulawesian yang bisa kita lihat sendiri di daerah ini.

Sekilas Tanjung Priok

Tanjung Priok letaknya di Jakarta Utara. Di daerah ini terdapat Pelabuhan Tanjung Priok. Ia  merupakan pelabuhan terpadat dan salah satu pelabuhan berskala internasional di Indonesia.

Nama Tanjung Priok berasal dari dua kata; tanjung dan priok. Kata “tanjung” berarti daratan yang menjorok ke laut. Lalu, “priok” yang berasal dari kata “periuk”, artinya panci tanah liat yang jadi komoditas perdagangan pada zaman prasejarah (abad 1 M).

Sejak zaman dahulu, Tanjung Priok telah dijadikan pelabuhan prasejarah pusat penyebaran agama Hindu. Namun, baru pada era Kolonial Belanda, Tanjung Priok sungguh dijadikan kawasan pelabuhan (akhir abad 18).

Tanjung Priok terdiri dari 7 kelurahan; Tanjung Priok, Kebon Bawang, Sungai Bambu, Papanggo, Warakas, Sunter Agung, dan Sunter Jaya. Papanggo berasal dari bahasa Belanda, De Papangers, yaitu sebutan untuk orang-orang yang berasal dari daerah Pampanga di Luzon, Filipina. Di tempat ini, dulu terdapat perkampungan/tangsi mereka yang merupakan laskar bayaran Belanda. Sementara, Warakas dalam bahasa Jawa berarti paku laut (acrostichum aureum), yaitu sejenis tumbuhan paku-pakuan yang biasa tumbuh di rawa-rawa dekat laut.

Di Priok, boleh kata, semua suku ada di sini. Seorang pelaut bernama Karyono bilang, dulu mungkin Tanjung Priok mengerikan–zaman-zamannya Jakarta Pusat dan Priok sering ribut, tapi sekarang sudah tidak. Sekarang, Priok aman-aman saja. Lalu, rasanya sudah tidak tepat jika slogan “Priok keras, Bung” masih beredar.

Kami (Mayoritas) Merantau untuk Melaut

Orang Sulawesi memang dikenal sebagai perantau; dalam atau luar negeri. Tapi, tidak sama dengan konsep merantau orang Minang yang wajib kembali lagi ke tanah kelahiran dengan membawa pride, tidak ada peraturan adat yang mewajibkan mereka untuk kembali lagi ke daerah asal. Oleh karena itu, orang-orang Sulawesi menetap di daerah rantau dan berkumpul di sebuah kawasan, hingga akhirnya membentuk sebuah kelompok, semacam paguyuban.

Tanjung Priok menjadi destinasi yang paling diminati oleh para perantau. Alasannya ternyata sederhana saja. Karena mayoritas perantau Sulawesi yang datang ke Jakarta berprofesi sebagai pelaut. Maka, untuk memudahkan pekerjaan, mereka memilih Tanjung Priok yang di sana terletak Pelabuhan Tanjung Priok. Mengapa tidak Sunda Kelapa, tanya saya kepada Pak Syafrudin, seorang chief engineer di salah satu perusahaan pelayaran asing milik Singapura.

Kawasan perumahan di Tanjung Priok, menuju rumah salah satu pelaut asal Sulawesi yang tinggal di Priok.

Jawabannya, Pelabuhan Sunda Kelapa jauh lebih terbatas. Kapal-kapal yang datang hanya kapal-kapal kayu. Lebih lokal. Sementara, kalau Priok itu tarafnya internasional. Yang bersandar pun kapal-kapal besar.

Senandung “nenek moyangku seorang pelaut” nyatanya begitu mempengaruhi niat, tekad, dan keinginan orang-orang Sulawesi untuk jadi pelaut. Sampai sekarang pun, menurut Pak Syafrudin, profesi pelaut masih digemari oleh anak muda-anak muda di Sulawesi. Selain karena budaya, lancarnya regenerasi pelaut muda disebabkan berdirinya banyak akademi pelayaran di Makassar, seperti Politeknik Ilmu Pelayaran (PIP) Makassar, yang sudah berstandar internasional. PIP Makassar sendiri adalah sekolah transportasi tertua di Indonesia yang sudah berdiri sejak 1921. Selain akademi-akademi di Makassar, Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran Jakarta di Ancol dan sekolah pelayaran di Semarang juga sudah berstandar internasional.

Dulu, sebelum para pelaut memperoleh pendapatan sebesar sekarang, mereka punya bisnis sampingan; membawa barang-barang, seperti tas, pakaian, sepatu, dan lain-lain, dari luar negeri untuk dijual kembali. Ini asal mula keberadaan Pasar Ular di Tanjung Priok. Kenapa akhirnya Pasar Ular terkenal dengan barang-barangnya yang bagus dan unik, itu karena memang barang-barangnya adalah barang impor. Ditambah, dijual dengan harga miring. Namun, kini, para pelaut sudah berhenti melakukannya.

Lalu, Menetap dan Berguyub

Mengapa akhirnya orang-orang Sulawesi menetap di negeri rantau? Jika yang ditanya Pak Syafrudin, maka ia akan menjawab, ya, lagi-lagi karena profesinya sebagai pelaut. Di Jakarta, kesempatan lebih besar. Perusahaan pelayaran lebih banyak. Dan, seperti kita tahu, Jakarta memang pusat dari segala kegiatan, apa pun itu. Kalau untuk kasus ini, tidak hanya orang Sulawesi saja yang merasa hidupnya bisa lebih cerah jika tinggal di Jakarta. Perantau dari daerah lain bisa jadi menjawab hal serupa.

Meskipun para perantau itu masih punya keluarga yang tinggal di tanah asal, keinginan untuk kembali ke sana dan menetap di Sulawesi sudah tidak ada lagi. Hidup mereka sudah utuh di Jakarta; pekerjaan, beranak-pinak, sampai memiliki harta tak bergerak.

Hingga kini, kekerabatan itu masih kental bisa kita rasakan di Priok jika kita mawas diri. Saking eratnya kekerabatan orang-orang Sulawesi di Jakarta, ada kelompok atau ikatan kekeluargaan yang terbentuk, di antaranya Ikatan Keluarga Sulawesi (IKS), Ikatan Keluarga Sulawesi Selatan (IKSS), Ikatan Keluarga Bumi Serang Makassar (IKAB, beranggotakan alumni Akademi Pelayaran Makassar), Kamase (Warga Mamajang Selatan, ‘anak’ IKSS), sampai ikatan para pelajar asal Sulawesi, yaitu Ikatan Pelajar/Mahasiswa Sulawesi Selatan (IPMSS).

4 Comments Add yours

  1. Sharul says:

    Kirain masih panjang lagi, 😅

    1. Atre says:

      Iyah, dulu liputan memang untuk shorties. Semoga ada di luar sana yang meliput lebih in-depth ya 😊

  2. Mulyadi says:

    tapi sudah lumayan lah ..

Leave a comment