Lasem Hari Ini: Kenapa Revitalisasi Kawasan Kota Pusaka Lasem Tidak Sesuai DED yang Disepakati?

Di penjuru Indonesia, banyak budaya benda atau nonbenda sedang berupaya mendapatkan status cagar budaya nasional atau Situs Warisan Dunia dari UNESCO. Yang saya tau, Lasem di Jawa Tengah sedang dalam proses mengupayakan yang pertama, baru kemudian yang kedua.

Proses penataan Kota Pusaka Lasem bahkan sudah mulai sejak 2021 oleh Kementerian PUPR, Bappeda Kab. Rembang, juga Pemkab. Rembang–walau mengalami kendala karena pembangunan merusak objek-objek diduga cagar budaya (statusnya dilindungi), seperti saluran kuno.

Dalam perjalanan revitalisasinya, ternyata pembangunan tidak sesuai dengan kesepakatan yang sudah diamini oleh semua pihak, termasuk pihak warga Lasem. Alih-alih dipugar, odcb justru dihancurkan dan diganti dengan benda baru.

Ada DED yang sudah disepakati bersama, termasuk oleh warga dan para peneliti. Tapi selama proses penataan berlangsung, warga kemudian sadar, kok, banyak praktik pembangunan yang tidak sesuai dengan DED dan juga dasar-dasar hukum tentang cagar budaya. Salah satunya, saluran kuno di wilayah Karangturi (kawasan Pecinan Lasem sekiranya dari era abad 18) yang masuk daftar ODCB, dihancurkan. Atau, pohon berusia puluhan tahun ditebang dan penebangan pohon tanpa seizin pemilik/ warga. Atau, jalur untuk pedestrian yang tidak mengakomodasi aktivitas warga.

Aku rasa saluran kuno dari batu bata dari zaman Belanda tidak bakal bisa digantikan oleh saluran u-ditch dari beton pracetak.

Yang mengkhawatirkan adalah ketika Lasem sedang dalam proses pengajuan status cagar budaya nasional, tetapi elemen-elemen cagar budaya yang dimiliki justru rusak atau hilang.

Jadi ingat, aku pernah baca sebuah artikel di tahun lalu, bahwa ada beberapa situs yang sudah menggenggam status World Heritage Site dari UNESCO, harus rela kehilangan titelnya tersebut karena berbagai alasan.

Seperti Kota Liverpool Maritime Mercantile City, Inggris. Semula, kota ini mendapat gelar World Heritage Site pada 2004 karena ialah pelabuhan utama Kerajaan Inggris di abad 18 dan 19. Banyak arsitektur megah pula di sekitarnya yang indah dan lestari selama berabad-abad. 

Hanya saja, kota ini pada pertengahan 2021 dihapus dari daftar World Heritage Site karena beberapa tahun belakang mengalami pembangunan kembali. Pembangunan ini kabarnya merusak karakter, keaslian, dan integritas situs. 

Masuk dalam daftar bahaya yang mungkin bisa ikut dihapus dari daftar World Heritage Site, antara lain Great Barrier Reef di Australia yang karangnya rusak karena krisis iklim, Venesia yang juga rusak karena pariwisata berlebihan, Gunung Berapi Kamchatka di Rusia, Warisan Alam dan Budaya wilayah Ohrid di Albania dan Makedonia Utara, hingga Kompleks W-Arly-Pendjari di Afrika Barat.

Sebagian besar situs kehilangan status Warisan Dunia karena saksi-saksi sejarah dan bukti keaslian situs rusak. Maka, adalah wajar ketika wilayah di Lasem yang dalam tahap pengajuan Cagar Budaya Nasional dan nantinya situs Warisan Budaya UNESCO malah menghadapi pembangunan yang tak mendukung otentikasi sejarah panjang Lasem.

Warga Lasem, saya pikir, berhak mengetahui tiap langkah pembangunan dari pekerjaan Penataan Kota Pusaka Lasem yang sedang berlangsung. Kalau tidak sesuai DED yang sebelumnya pernah disepakati, maka adalah masuk akal kalau sosialisasi akan DED yang terbaru bisa disampaikan kepada warga, para peneliti, dan juga pihak Yayasan Lasem Heritage yang menjadi wakil warga Lasem. Ada diskusi, ada keterlibatan tenaga ahli dan warga, juga ada pendampingan dan pengawasan pekerjaan. Biar tidak menyesal belakangan.

“Seiring dengan dinamika dan perubahan zaman, kegiatan pelestarian tidak sekadar menyelesaikan soal perlindungan artefak sejarah, namun juga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan perbaikan lingkungan. Oleh karena itu, diperlukan kerja sama yang baik dalam pelaksanaan kegiatan pelestarian. Salah satu kunci keberhasilannya adalah mengajak serta masyarakat dalam program-program pelestarian melalui sosialisasi dan pelibatan masyarakat untuk menjaga lingkungan/ kawasan tempat tinggalnya.”

-Prof. Widjaja Martokusumo, Guru Besar Program Studi Arsitektur ITB.

Leave a comment