To the World’s Highest Motorable Road, Khardung La India

Lanjutan dari postingan sebelumnya…

Kami menderu di atas jalanan aspal panjang dan lurus, masih di kawasan Leh. Tujuannya: mencari restoran untuk makan siang. Pada dasarnya, hari pertama dan kedua adalah memang tentang pengenalan—dengan motor, dengan jalanan, dengan teman-teman RoML, semuanya. Besok perjalanan yang sebenar-benarnya baru akan dimulai.

Brown Rocky Mountain Ladakh - Astri Apriyani - Atre's Odyssey

 
DAY 3

Saya ingat, malam sebelumnya digelar pertandingan Piala Dunia Prancis melawan Argentina. Di tengah udara dingin yang bisa mencapai 4 derajat C di malam hari, saya dan G menyaksikan Prancis menang tipis. Tapi, jujur, saya lupa skor tepatnya.

Sebelum berangkat, kami persiapkan kebutuhan dengan serius. Barang-barang yang tidak diperlukan ketika riding, kami tinggal di Hotel Khasdan—karena nanti di akhir perjalanan kami akan kembali ke hotel ini. Kami hanya membawa satu ransel berisi pakaian untuk beberapa hari dan camilan pribadi. Ransel ini akan dititipkan di jip maintenance milik RoML. Barang-barang penting, seperti kamera, surat-surat, paspor, air mineral, obat-obatan, jas hujan, stok kaos kaki, stok sarung tangan, kacamata hitam, tambahan jaket, serta camilan untuk di tengah jalan seperti snack bar dan coklat, kami letakkan di tempat yang gampang diraih, yaitu di ransel yang saya bawa dan tank bag.

Mulai hari ketiga ini, kami menyiapkan diri untuk motoran sekitar 7-10 jam sehari. Semua di atas 100 km/ hari. Riding yang sesungguhnya dimulai.

Sejak pagi pukul 08.00, setelah sarapan di hotel dan berdoa sesuai kepercayaan masing-masing, kami memulai perjalanan. Riding bersama RoML, meski dalam rombongan, tak serta-merta jadi terkekang. Ada kebebasan seluas-luasnya bagi para pengendara untuk menikmati perjalanan. Jarak antara satu pengendara dengan pengendara lainnya pun tak berdekatan—sefleksibel mungkin. Juga, selalu ada leader di depan dan sweeper di belakang rombongan untuk berjaga kalau-kalau ada yang mengalami masalah di tengah jalan. Tersesat pun jadi bisa dicegah.

Ride of My Life Ladakh India team - Astri Apriyani - Atre's Odyssey
Di beberapa titik atau persimpangan jalan, kami kerap berhenti untuk mengecek keadaan semua orang.

Motor sudah digas. Kami pelan-pelan meninggalkan pusat kota di belakang, untuk menjelajahi bagian lain Ladakh. Hari itu, ada sekitar 130 km membentang jauh di hadapan kami. Saya kencangkan pelukan saya kepada G, karena semakin cepat laju RE ini, semakin dingin pula angin yang menerpa. Dan satu lagi yang mengejutkan, semakin tebal pula debu yang menerpa wajah. Karena itu, penting untuk mengenakan penutup wajah tiap mulai motoran. Siapkan pula kacamata hitam, karena kadang-kadang hari bisa begitu silau.

Pusat kota Leh sudah tak kelihatan lagi. Kami meninggalkan kawasan pemukiman dan tempat-tempat touristy di belakang. Beberapa kali, kami melalui beberapa gompa (monastery) yang berdiri magis di atas bukit.

 

Dari South Pullu ke Khardung La

Kami menuju South Pullu untuk titik pertama hari itu. Jalan aspal yang mulus masih baik menemani puluhan kilometer pertama kami. Hanya saja, ia cenderung mulai berliku dan menanjak. Banyak tikungan, tapi tidak curam. Pegunungan dan lembah berpasir yang kemarin-kemarin hanya saya lihat dari kejauhan, sekarang mendekat hingga kami berada di sekelilingnya.

Hal paling membikin hati hangat adalah serupa namaste yang saling diucapkan para pendaki di Nepal, di sini, para pengendara saling sapa dengan berbalas klakson. Awalnya, ketika saya dan G berhenti sejenak di tepi jalan untuk mengeluarkan kamera dari ransel, saya melonjak kaget karena tiba-tiba rentetan klakson “menyapa” kami. Saya kikuk menjawab dengan lambaian tangan yang terbalut sarung tangan tebal.

Menyela lanskap pasir coklat yang kering, kami sempat melintasi Sungai Indus, dengan beberapa kerbau yang sedang sibuk mengunyah rumput di sekelilingnya. Kawasan di sekitar sungai hijau rindang, berbeda dengan area lainnya yang berbatu dan tandus. Untung hari itu, langit cerah. Awan ginuk-ginuk berwarna putih sekali dengan latar warna biru yang menonjol.

Sepanjang jalan menuju South Pullu, lanskap masih berpasir sejauh mata memandang. Semua serba coklat. Jalan beraspal kadang-kadang berada di tepi lereng dengan sisi lainnya langsung curam. Di jalanan semacam ini, saya hanya khawatir sisi lembah berbatu itu longsor. Batu-batu seukuran raksasa kerapkali bergemuruh runtuh di lereng bukit ini. Kasus terburuk bahkan kendaraan-kendaraan terjun bebas ke tebing curam di sisi lainnya.

G sesekali menoleh ke belakang, bertanya kabar saya. Angin mungkin membuat jawaban saya tak terdengar, tapi saya kira G tahu kalau saya menikmati perjalanan. Secara mengejutkan, motor RE Classic 500 cc ini tak membuat boyok atau pantat sakit. Perjalanan hingga 130 km per hari jadi tak melelahkan. Pilihan motor yang tepat juga sungguh jadi faktor menentukan agar perjalanan menyenangkan.

Kami berhenti sejenak di South Pullu. Gaurav, leader kami mengingatkan untuk siap dengan pakaian dingin. Langsung, di hari ketiga yang serasa hari pertama riding, kami langsung menuju Khardung La (5.400 mdpl). The world highest motorable road in the world!

Gear up for cold as the temperature will drastically reduce with your ascend to Khardung La,” katanya.

Sebelum melanjutkan perjalanan, Gaurav juga mengingatkan sekali lagi untuk tidak terlalu berlama-lama di Khardung La. Sebab, dengan ketinggian seperti itu dan aklimatisasi yang kilat (karena kita naik motor, bukan mendaki), tubuh mungkin akan kaget karena oksigen yang tipis. Jadi, paling lama 15-20 menit tinggal di titik tertinggi itu. Dari balik scarf yang helm half-face, saya mengangguk. Tentu saja, banyak yang tak manut dan tinggal jauh lebih lama di Khardung La. Berakhir pening, sesak napas, dan muntah-muntah, tapi ya salah sendiri, sih, keras kepala yang tak geunah.

Saya dan G sudah siap dengan pakaian dingin kami. Rute menuju Khardung La ini tak lagi jalan beraspal. Selamat datang di jalan batu berkerikil dengan tikungan-tikungan tajam dan menurun-menanjak sembarangan. Kerikil-kerikil membuat jalanan ini tricky karena motor riskan terpeleset batu lalu jatuh. Di beberapa bagian jalanan, bahkan ada lubang-lubang dengan genangan air berwarna coklat. Semakin mendebarkan karena jalanan menuju Khardung La terus menanjak.

Saya mempererat pelukan kepada G. Ia kini sudah nyaman dengan RE Classic-nya itu. Mau itu braking, clutching, dan lain-lain, semua lancar. Masalah lain muncul justru dari pihak luar. Jalan sempit berbatu menuju Khardung La ini juga menjadi jalur militer. Akibatnya, di luar motor-motor para pencinta riding, ada banyak truk tronton berbaris-baris berisi banyak tentara. Tak hanya asap dari truk yang mencemarkan udara bersih pegunungan, tapi tronton ini juga membuat perjalanan lebih lama karena kerap membuat macet. Saya benci memikirkan ini, tapi tiba-tiba saya merasa ada di Tanjung Priok.

Truk tronton military truck in Ladakh - Astri Apriyani - Atre's Odyssey
Selama perjalanan, papasan dengan truk tronton itu sering banget. Melintasi markas militer yang agak samar menyatu dengan lanskap kecoklatan juga bakal sering terjadi.

Tak hanya tronton militer saja, kita kerapkali berpapasan dengan mobil-mobil tur sejenis elf atau truk pengangkut batu dan pasir. Yang terakhir, kadang-kadang ikut serta membawa para pekerja di bagian belakang truk. Karena itu, di tengah jalan kita bakal sering menemukan mereka bekerja mengangkut batu, pasir, atau bisa juga memperbaiki jalanan.

Satu hal yang paling penting, ketika jalan mulai berliku dan menyempit, tiap bertemu kelokan, bunyikanlah klakson sebagai “tanda kehadiran“. Juga, perlambat laju kendaraan tiap menemui jalan sempit berliku. Ini sudah pengetahuan umum. Pengendara motor pasti paham.

Temperatur langsung drop ketika mendekati titik tertinggi Khardung La. Oksigen yang tipis seketika terasa lebih menekan. Udara dingin menerpa. Salju tiba-tiba turun. Namun, ketika akhirnya tiba di Khardung La, saya dan G mendapati kawasan itu ramai tak ketulungan. Seperti pasar pagi. Tak hanya motor-motor yang berjajaran, tapi juga kendaraan roda 4 yang parkir beraturan. Jauh-jauh ke ketinggian 5.400 mdpl, tapi ketemunya situasi ala Jakarta. Bedanya, kali ini, napas saya agak lebih susah.

Tak mau merasakan kecewa di sana—biar saya simpan saja buat dikeluarkan nanti—, akhirnya saya dan G menuju tanda peringatan kuning besar yang dikerubungi banyak orang. Tulisannya, “Border Roads Organization HIMANK Welcomes You to The Top of the World Mighty Khardung La (ALT-18.380 ft)”. Mau merasakan gembira saat itu juga ternyata tak bisa. Keadaan tidak seperti yang saya idam-idamkan. Tak lewat dari 15 menit, saya dan G beranjak dari Khardung La untuk menuju ke elevasi yang lebih aman dari AMS.

Begitu sudah turun di ketinggian yang lebih aman, sekitar 4.000-an mdpl, saya dan G berhenti sebentar. Istirahat dan bernapas. Saya tanya apa G aman. Ia mengangguk. Ia tanya balik, kali ini saya yang mengangguk. Latihan bernapas 5 seconds rules ala yoga ternyata membantu banyak.

Astri Apriyani Giri Prasetyo Ladakh India - Atre's Odyssey

Saya tak melihat satu pun teman-teman dari RoML. Entah di belakang atau jauh di depan. Tapi, tahu-tahu sang sweeper menghampiri kami dan memberi tanda untuk “mari-mari-yuk-lanjut-perjalanan-biar-nggak-kesorean-soalnya-jalan-masih-panjang-nih-sis”.

 

Dari North Pullu ke Sumoor

Lepas dari Khardung La, jalanan rusak berkerikil dan berpasir tak lagi menanjak. Kebanyakan menurun, karena jelas kami sedang turun dari puncak. Kami menuju ke North Pullu (4.664 mdpl). South Pullu dan North Pullu penting karena di keduanya kami melakukan permit check sesuai prosedur (detail prosedur ini akan saya tuliskan dalam artikel terpisah). Tiap orang wajib mengantongi izin dan melakukan permit check. Bawa juga ID card (paspor) jika sewaktu-waktu petugas memintanya.

Di tengah jalan, kami mampir untuk makan siang. Tepatnya, di Khalsar Village, sekitar 50 km dari Khardung La. Di beberapa titik di tengah rute perjalanan, kita bisa menemukan jajaran warung makan sederhana di tepi jalan poros aspal. Mungkin, kalau mau dibayangkan, seperti jajaran warung makan di jalur pantura. Hanya saja, latar belakang pemandangannya adalah pegunungan berbatu-pasir dan tak ada dangdut koplo.

Di hari ketiga ini, yang adalah hari pertama saya menempuh jalan panjang, hal tersulit bukan suhu yang dingin. Bukan pula perihal berkendara—karena saya duduk di kursi penumpang. Hal tersulit adalah soal menahan pipis. Bayangkan: udara dingin, minum harus selalu banyak (ini syarat agar tidak AMS), lalu seringnya kita berada di antah-berantah tak ada toilet. Aduh, kebelet.

“Pipis di semak-semak aja, Tre!”

Saya bisiki sini sebentar di telingamu, Seringnya, antah-berantah yang dimaksud itu nggak ada pohon, nggak ada semak-semak, nggak ada penutup apa pun. Kadang-kadang ada batu besar, tapi adanya jauh dari jalan raya. Aku berharap bawa fitting room portable yang bisa tutupi seluruh badan pas pipis di jalan.” Tah, sudah dengar?

Alternatif dari fitting room portable itu adalah pakai pampers! Bukan becanda, tapi sepertinya efektif. Saya orang yang tak terlalu beseran. Jadi buat kamu yang memang beser, bisa pertimbangkan opsi-opsi di atas kalau mau motoran di Ladakh. Karena kalau tidak, kamu harus tunggu tiba di daerah pemukiman dan menumpang pipis di toilet tradisional mereka. Terlalu “Ari Aster” kalau dijelaskan, pokoknya. Yang jelas, prepare for that kind of challenge, guys!

Dari area North Pullu, setelah makan siang dengan menu favorit sejuta umat ketika ke Ladakh (momo dan mie instan Maggie—itu terus tapi susah gagal), kami meluncur ke tujuan terakhir hari ketiga: Sumoor. Menandai bahwa hari itu telah sukses kita riding selama kurang lebih 7-8 jam, di luar istirahat makan siang.

Setelah hampir seharian akrab dengan pemandangan lembah berpasir, gunung berkerikil, dan bebatuan granit serba coklat, Sumoor bakal menyajikan panorama yang berbeda. Ungkapan “menemukan oasis di tengah padang pasir” sepertinya cocok untuk menggambarkan Sumoor.

Sumoor region Ladakh India - Astri Apriyani - Atre's Odyssey

Saya ingat betul, setelah membelah lembah di jalanan yang sebagiannya rusak karena tersapu arus air, kami tiba di sisi lain lembah yang hijau. Setelah sempat seperti menantang pegunungan pasir yang raksasa, kami justru tiba di jalanan aspal yang kembali mulus dengan pepohonan, rerumputan, dan bebungaan yang tumbuh subur. Aliran sungai di sekitarnya membuat semua keteduhan itu masuk akal. Hanya saja langit jelang sore sedikit mendung. Warnanya kelabu. Untunglah kami hampir tiba di garis akhir untuk hari itu.

Di Sumoor, kami menginap di sebuah penginapan dengan bentuk bangunan tradisional Ladakh yang kerap disebut farm house atau khangpa. Ini adalah jenis bangunan yang kita bisa lihat di mana-mana selama di Ladakh, termasuk di pusat kota Leh sebagai penginapan. Ia memiliki bentuk kotak atau persegi, dengan atap yang datar (bukan kerucut), berwarna putih, dan kusen-kusen kayu coklat yang biasa terbuat dari kayu Poplar (pohon tinggi yang bisa tumbuh cepat di daerah utara, banyak digunakan untuk kayu dan bubur kertas).

Typical room hotel in Ladakh motorcycle riding India - Astri Apriyani - Atre's Odyssey
Tipikal kamar penginapan selama trip riding, termasuk di Sumoor. Sederhana, tapi cukup.

Saya mengecek penginapan di tengah alam bebas ini. Hanya ada kamar dengan air hangat yang suam-suam kuku (tak bisa mengatasi gigil pas mandi di pagi hari) dan listrik yang bakal mati tiap tengah malam. Namun, untuk ukuran di pedesaan, penginapan ini bersih dan balkonnya menghadap langsung kebun berbunga juga pegunungan agung yang meski ada di mana-mana masih selalu bikin ckckck kagum.

Hari itu, di lepas sore yang bebas, saya dan G memutuskan menjelajah sekitar Sumoor tanpa rombongan. Setelah habis minuman hangat dan camilan, kami kembali ke jalan yang sempat kami lalui tadi. Kami sempat lihat sebuah ngarai dan lembah berpasir putih dengan bunga-bunga liar berwarna merah jambu. Latarnya, tentu saja jajaran Himalaya yang megah. Serta, kami sempat pula melalui deretan pohon-pohon pinus tinggi hijau yang rimba.

Gas sebentar, hanya sekitar 15 menit dari penginapan, kami tiba di sebuah tempat yang plangnya menyebutkan “SILK ROUTE”. Begitu memasuki jalan yang menyempit, melewati beberapa domba serta kerbau yang berlarian bebas di padang rumput, kami ternyata tiba di sebuah padang pasir bernama Sumoor Sand Dunes ketinggian 3.300 mdpl.

Di tengah pegunungan, di sela-sela lembah yang hijau, bukit pasir ini menjelma berundak-undak. Ada semacam gelombang berlapis-lapis di permukaan pasir tersebut karena angin membentuknya. Tak ada jejak kaki sama sekali, karena mungkin langsung terhapus seketika dijejakkan. Sore memang kelabu, tapi rasanya tetap tak kalah puitis dengan sore yang punya senja.

Dancing in sand dunes in Sumoor Ladakh India - Astri Apriyani - Atre's Odyssey

Saya segera berlarian ke sana-kemari di atas bukit berpasir itu. Betapa halus dan bersih pasir tersebut, yang ketika kita genggam, ia langsung luruh di sela jemari. Ketika asyik bermain-main sendiri, tiba-tiba melintas beberapa ekor unta di sana. Tapi, mereka bukan makhluk bebas. Unta-unta yang terlihat kurus itu, milik warga lokal yang menyewakannya untuk berkeliling ke sekitar sand dunes. Meski camel riding sebetulnya adalah salah satu wishlist saya, tapi entah kenapa hari itu, melihat unta-unta kurus itu, rasanya tak ingin.

Saya dan G putuskan kembali ke padang rumput tepat di sebelah sand dunes. Di sana, ada sebuah kedai yang sepi tapi untungnya masih buka. Saya dan G pesan minuman jahe, tentu saja, untuk menghangatkan tubuh.

Sembari menyesap minuman hangat itu, saya memandang jauh ke arah bukit pasir dan siluet unta. Lalu, teringat pernah membaca sebuah artikel bahwa di masa lalu, unta dan yak adalah hewan yang biasa digunakan oleh masyarakat untuk membawa barang-barang dagangan.

Sebelum era 1950-an (ketika perbatasan resmi ditutup oleh pemerintah Tiongkok), hewan-hewan ini membawa dagangan, seperti rempah-rempah, wol, sutra, dan lain-lain di Jalur Sutra (Silk Road) di rute trans-Himalayan ini. Kadang-kadang dari India keluar Tiongkok, kadang-kadang sebaliknya, dari Tiongkok ke India, melalui Pakistan, Asia Tengah, dan wilayah lain di sekitarnya. Well, the old good days. Sekarang, setelah perbatasan ditutup, gencatan senjata memang mendamaikan, tetapi masih terjadi bentrok sana-sini di perbatasan, terutama di Kashmir.

Tak terasa, gelas saya sudah kosong. Angin juga semakin gila, membuat bendera-bendera mantra yang bergantung di sekitar kedai mengepak-ngepak keras. Saya mengangguk ke arah G, tanda untuk lekasan membayar dan beranjak dari Sumoor Sand Dunes. Saya beri satu lagi tatapan terakhir untuk unta di bukit pasir itu. Semoga mereka sehat selalu.

Dalam perjalanan kembali ke penginapan Sumoor, saya dan G mampir sejenak melihat dari dekat bunga-bunga liar merah jambu dan ungu yang tadi saya sebut sekilas. Yang merah jambu kabarnya adalah wild rose bush, sementara yang ungu sepertinya lavender. Lalu, saya baru sadar, di area ini, kita sudah bisa melihat Karakoram Range.

White sand dunes Sumoor Ladakh North India - Astri Apriyani - Atre's Odyssey

Berbeda dengan daerah-daerah lain sebelumnya yang membuat kita berpapasan dengan para pekerja batu dan pasir, di Sumoor, kita bakal banyak berpapasan dengan para pengembala dan peladang. Kehidupan lebih teduh di sini. Dan, satu hal yang menyadarkan pikiran: “Selama perjalanan, tak selamanya kita terus-menerus menemukan jalan mulus dan lurus. Nanti bisa kita temukan jalan rusak yang bikin kita waspada, atau jalan hancur parah berliku-liku yang bikin kita putus asa. Mirip seperti hidup.”

Hari itu berakhir dengan hujan yang turun tiba-tiba. Saya dan G lekasan bergegas balik ke penginapan, dan menghabiskan sisa hari memandangi taman bunga liar.

P.s. Setelah kembali ke Indonesia, tepat setelah selesai perjalanan di Ladakh ini, saya membaca sebuah artikel yang menyebutkan bahwa Khardung La bukan lagi “the world’s highest motorable road“.  Cek daftarnya DI SINI. Tapi, no, saya nggak menyesali apa pun. Semoga masih ada umur buat betul-betul main ke jalanan tertinggi di dunia versi terbaru.

 
CERITA SELANJUTNYA
DAY 4                              DAY 5

Leave a comment