The Best Ride of My Life (So Far) to the World’s Highest Motorable Road: Starting Point Leh, India

Mau kamu suka touring atau road trip naik motor ataupun mobil, wilayah India Utara patut masuk daftar destinasi untuk dijelajahi. Kali ini, saya bakal menceritakan pengalaman motoran dari Kota Leh sampai ke Khardung La, the world highest motorable road—hanya untuk kemudian tahu, kalau Khardung La sudah bukan lagi yang pertama dunia.

Bagian perjalanan yang paling memorable ini akhirnya rilis juga! Kita tiba di bagian saya dan G menghabiskan waktu on-off selama 5 hari di atas Royal Enfield 500 cc bertangki warna hitam untuk mencapai Khardung La, jalanan tertinggi di dunia (5.359 mdpl).

Nunggu rilisnya lumayan lama kayak nunggu antrean minuman boba, nggak? Lol.

Satu catatan pembuka paling penting: I had lotsa fun during the motorcycle riding in Ladakh. Tidak ada gangguan yang berarti selama perjalanan. Hanya ketemu benturan-benturan dan kerikil-kerikil kecil yang menghadang sepanjang motoran. Itu pun dalam artian sebenarnya (memang banyak road bump dan jalanan berkerikil tak beraspal selama berhari-hari). Justru karena tambahan tantangan itu, rasa-rasanya agenda motoran ini jadi membekas dan patut dapat gelar “the best ride of my life (so far)”.

Berpondasi pada kenangan-kenangan dan pengalaman indah di Ladakh, saya menuliskan cerita perjalanan ini. Tapi, hal yang kemudian mendesak tulisan ini dirampungkan sesegera mungkin, jujur, karena pertikaian di area perbatasan India dan Tiongkok di kawasan Himalaya pada 16 Juni 2020, termasuk area sepanjang perbatasan yang masuk wilayah Ladakh di Kashmir.

kashmir ladakh jammu kashmir

Pertikaian antara India dan Tiongkok ini sudah terjadi sejak lama. Ditarik ke belakang, tercatat sejak 1962. Mereka berperang memperebutkan wilayah di perbatasan Himalaya. Bentrokan fatal terakhir terjadi pada 1975.

India dan Tiongkok gencatan senjata, tapi tetap semacam bara dalam sekam. Mereka damai, tapi seperti bom waktu—sewaktu-waktu bisa meledak, seperti adanya pertempuran kecil pada 2013 dan 2017.

Tahun ini, 2020, India dan Tiongkok kembali bentrok hingga menewaskan sekitar 20 orang pasukan India. Sementara, pihak Tiongkok tidak merilis pernyataan tentang jumlah korban di pihak mereka. Ada rumor mengatakan korban di sisi Tiongkok ada sekitar 40 prajurit, tapi pihak Tiongkok membantah. Pemicu bentrok ternyata adalah ketika patrol perbatasan India mendapati pasukan Negeri Tirai Bambu itu berada di wilayah perbatasan. Kabarnya, konfrontasi yang terjadi semula tak besar. Namun, ketika ada seorang perwira komando dari pihak India terjatuh ke ngarai sungai, pertikaian membesar. Ratusan pasukan dari kedua belah pihak bertarung, hingga menyebabkan kematian puluhan di antaranya.

Saya ingat betul tahun 2018, ketika menjejakkan kaki di Ladakh, perkara pertikaian itu tidak muncul di benak. Saya dan G fokus menikmati keindahan wilayah dataran tinggi dan jajaran pegunungan Himalaya yang jadi daya pikat utama Ladakh.

Ladakh sendiri—sekali saya jabarkan, kalau-kalau ada dari kalian yang masih bingung letaknya di mana, sih—terletak di bagian utara India. Ia adalah bagian dari region lebih besar, yaitu Kashmir, yang tentu saja, menjadi sumber perselisihan India-Tiongkok-Pakistan.

Ladakh berbatasan dengan Tibet di timur, region Lahaul dan Spiti di bagian selatan India, region Jammu dan Baltistan di barat, dan Xinjiang di ujung barat daya melintasi Karakoram Pass.

 

Baca tentang Pengalaman Mendarat Pertama Kali di Leh, Ladakh .

 

Ladakh adalah region yang penting dari Jammu dan Kashmir. Tak hanya perkara pariwisata, tapi sejak dulu, wilayah ini adalah lokasi strategis untuk rute perdagangan. Namun, pemerintah Tiongkok menutup perbatasan sejak 1960-an. Karena itulah, terjadi gencatan senjata dan sesekali bentrokan seperti yang saya ceritakan sekilas di atas tadi.

Ketika saya menjejakkan kaki ke Ladakh di akhir Juni 2018, keadaan Leh Ladakh sedang tenang. Tak ada berita bentrok seperti beberapa bulan belakangan ini. Saya ingat betul, hal yang paling menggigil saya pikirkan adalah bagaimana bisa berhasil mengatasi AMS (Accute Mountain Sickness—mengingat Ladakh berketinggian 3.524 mdpl) dan apakah stamina saya cukup untuk bertahan motoran hampir seminggu di medan yang asing. Saya tak pikirkan perang, tak pikirkan bentrokan militer, atau apa.

Baca juga tentang Bagaimana Cara Sukses Mengatasi AMS di Leh Ladakh.

 

Motorcycle Riding in the Land of High Passes

Banyak orang yang bertanya, kenapa harus motoran di Ladakh? Awalnya, karena tahu G memang suka motoran, suka road trip. Saya sendiri tidak bisa mengendarai motor. Namun, ketika suatu hari membaca kalau jalanan tertinggi di dunia ada di Ladakh, langsung saya ajak G untuk menjajal jalanan di sana. Waktu itu, rasanya merencanakan perjalanan bareng tidak sesusah sekarang. Tak butuh waktu lama sampai akhirnya kami serta-merta mengurus perintilan perjalanan. Karena kalau dipikir-pikir, proses merencanakan trip ini tak alot dan tak bertele-tele. Langsung gas.

Satu hal yang mungkin memudahkan perencanaan trip ini, karena bagian motorannya sudah diurus oleh Ride of My Life, sebuah operator berbasis di India. Saya dan G mendapat rekomendasi tentang operator ini dari salah seorang kawan berkebangsaan India.

Dan, ternyata memang semua urusan perjalanan, mulai dari itinerary, perlengkapan riding termasuk motor dan helm, mekanik selama touring, biaya tol dan entry fees, sampai penginapan serta sarapan dan makan malam, sudah diatur oleh mereka. Kita tinggal memilih rute yang kita inginkan untuk dijajal, dan bertemu di meeting point di Kota Leh.

Saya dan G memilih rute Leh-Manali, dengan itinerary termasuk Pangong Tso Lake, Nubra Valley, hingga tentu saja, Khardung La. Total rute ini menempuh hingga 475 km selama 8 hari—tapi saya dan G hanya ikut 5 hari saja. Kenapa? Karena, salah perhitungan waktu.

Sebetulnya, ada banyak alasan kami memilih untuk menyerahkan perjalanan kami ke Ride of My Life. Tapi kalau mau dijabarkan:

  1. Saya dan G sama-sama tak punya waktu banyak untuk mengurus perintilan motoran. Seingat saja sedang ada deadline parah beberapa saat sebelum keberangkatan.
  2. Ini kali pertama kami menjelajah Ladakh, dan kabarnya banyak kendala di perjalanan yang bisa berbahaya jika tak punya bekal pengetahuan. Jadi, kalaupun ada sesuatu di perjalanan, saya dan G lebih merasa aman karena ada pendamping dari Ride of My Life.
  3. Sinyal bisa hilang sama sekali di tengah jalan. Kengerian akan tersesat agak besar, jadi daripada tak tenang, kami memilih menyewa operator.

 

DAY 1-2

Hari pertama memulai aktivitas bersama Ride of My Life (RoML), 30 Juli 2018, kami hanya bertemu dengan pihak operator untuk urusan surat izin berkendara dan perintilannya. Hari pertama bersama RoML adalah hari ketiga saya dan G di Leh.

Jadi, perkara logistik pribadi, saya dan G sudah sempat belanja di warung dekat penginapan. Paling banyak siapkan air mineral secukupnya untuk cadangan (karena sebetulnya ada jatah dari operator), camilan coklat dan snack bar (snack bar penting karena praktis dan mengenyangkan jika kelaparan di jalan), kacang-kacangan (ini juga penting buat mengganjal lapar), roti, dan permen karet biar ndak iseng aja.

7 - Shopping at the local shop in Ladakh for logistic motorcycle riding - Astri Apriyani - Atre's Odyssey
Tipikal warung kecil yang menjual kebutuhan sehari-hari di Leh. Foto dengan Samsung Galaxy S8.

Keperluan makanan yang sudah saya siapkan dari Indonesia untuk jaga-jaga, pertama, mie instan cup (paling suka ABC Selera Pedas dan Pop Mie Kuah Pedes Dower karena pedas. Di udara dingin, mantap betul makan yang hangat-hangat dan pedas-pedas. P.s. favorit mie cup terbaru itu Gaga 100 Kuah Jalapeno, wah, mantap super spicy!). Penyebutan merek-merek mie instan ini sama sekali tidak dibayar. Murni memang favorit. Kedua, saya selalu stok kopi sachet yang praktis (biasanya antara Indocafe Coffeemix, Good Day Carribean Nut, atau Torabika Cappucino). Ketiga, karena ini bakal main di ketinggian yang lebih dari biasanya, saya stok banyak minuman instan jahe (Intra Jahe Wangi atau Sido Muncul Susu Jahe)—konsumsi banyak jahe di ketinggian bisa mencegah AMS. Sisanya, tentu sedia camilan msg seperti Lays Seaweed, Chitato Cheese, atau Tae Kae Noi yang spicy flavour.

Cukup membahas makanannya, mari kita balik ke rencana perjalanan. Leh adalah kota terbesar di Ladakh, dan juga jadi titik pertemuan kami dengan tim RoML serta teman-teman lain yang satu rombongan touring. Waktu itu, total ada sekitar 10 orang lain di luar saya dan G yang akan riding bersama. Mereka berasal dari beberapa negara; Amerika Serikat, Inggris, Fiji, India, dan Singapura. Mereka rata-rata orang-orang yang memang sudah mencoba motoran di banyak aspal seluruh dunia. Bahkan, ada seorang bapak yang baru pensiun lalu memutuskan menghabiskan waktu traveling sendirian dengan motor. “Daripada di rumah, tak berbuat apa-apa,” katanya.

Sementara, di hari kedua, 31 Juli, saya dan G berkenalan dengan Gaurav dan Vikram dari RoML yang nantinya bakal jadi pemandu kami selama perjalanan. Keduanya berkebangsaan India. Gaurav lebih tua dengan rambut sudah beruban dan pergerakan yang lambat, ketimbang Vikram yang terlihat lebih cekatan. Mereka kawan lama, yang semula memulai RoML sebagai community club. Hingga kini, RoML sudah berpengalaman memandu banyak trip motoran dengan berbagai rute, mulai dari Ladakh, Spiti (Western Himalayas), Sikkim (Eastern Himalayas), sampai Bhutan.

1 - Royal Enfield Classic 500 cc Ride of My Life Ladakh India - Astri Apriyani ed
Semua motor yang disediakan oleh pihak RoML dalam kondisi prima dan gagah. Tersedia pula mekanik sepanjang riding jika terjadi suatu masalah.

Setelah berkenalan dan ber-Julley ria, kami yang sudah pindah ke satu penginapan (masih di Leh) yang sama dengan teman-teman lain, diajak melihat motor-motor yang berjajar di halaman penginapan. Platnya semua berhuruf JK, CH, dan GJ. Pilihannya hanya dua: Royal Enfield Classic 500 cc atau Royal Enfield Himalaya 411 cc. G memilih RE Classic 500 cc.

Ketika G memilih motor-motor ini, saya masih berdiam diri di kamar hotel. Rupanya, saya satu-satunya pillion (penumpang) di trip kali ini. Pengendara yang lain tak ada yang berpenumpang. Dan ya, saya satu-satunya perempuan di trip ini, tapi tak apa.

Saya hanya melihat dari balkon kamar di lantai atas ketika G akhirnya memilih RE Classic dengan tangki berwarna hitam, dan pergi bersama rombongan keluar halaman hotel. Setelahnya, saya baru tahu kalau mereka pergi mengisi bensin. Baru riding sebentar saja, wajah G sumringah sampai kedua matanya bersinar-sinar saat kembali dan menceritakan pengalaman menjajal motor tadi. Saya cuma ketawa, ikut senang.

Di hari kedua dalam jadwal riding RoML ini, kami tidak langsung tancap gas hantam aspal. Untuk alasan keselamatan, tim RoML mengajak kami ke sebuah booth camp di kawasan Ibex Colony Leh, masih dekat pusat kota Leh.

4 - Booth camp Leh Colony Ladakh - Astri Apriyani - Atre's Odyssey

Meski hari masih pagi—kami berangkat sejak 08.00—, Leh sudah cerah. Suhu udara sejuk, berkisar 13-14 derajat Celcius. Langit begitu biru dengan awan yang bergumpal-gumpal putih. Persis seperti apa yang kita gambar ketika SD. Kali ini, saya sudah duduk nyaman menjadi pillion di motor pilihan G dengan tank bag yang sudah terpasang. Dada saya jujur berdebar-debar. Sepertinya percampuran antara bersemangat dan gugup. Sedikit rasa lega, karena saya dan G tak menderita AMS.

Tak sampai setengah jam, setelah melewati jalan aspal nan mulus, markas-markas militer India, dan menjauh dari pusat kota, kami tiba di sebuah lahan lapang berundak-undak dan berbatu kerikil.

Sejauh mata memandang, saya hanya bisa melihat jajaran pegunungan pasir dan kawasan hijau yang mencolok di antara bebatuan serta area berkerikil yang maha luas. Tak ada orang lain di luar rombongan kami. Mengingatkan akan Mars? Saya rasa demikian. Namun, tentu saja, berbeda sama sekali.

3 - Booth camp Leh Colony Ladakh - Astri Apriyani - Atre's Odyssey

Saya pernah membaca sebuah penelitian dari geolog Jepang, India, dan Vietnam yang meneliti bebatuan di kawasan India Utara, termasuk Ladakh. Mereka meneliti dari 2004-2006, dan menemukan bahwa sebagian besar bebatuan di Ladakh berupa batu basal, gabro (batuan gelap yang berasal dari pendinginan lava/ magma), dan serpentinit (batuan yang terdiri dari satu atau lebih mineral kelompok serpentin). Untuk mengenali serpentinit, kita bisa melihat tekstur luar batu yang bercorak seperti kulit ular.

Menarik lagi ke belakang, masih dari sudut pandang geologi, busur Ladakh ini adalah plutono-volcanic yang berkembang pada masa Cretaceous (masa terakhir dan terpanjang dari Mesozoikum, berlangsung 79 tahun lalu, ditandai kepunahan kecil Periode Jurassic—145,5 juta tahun lalu—hingga kepunahan Cretaceous-Paleogene (K-Pg) pada 65,5 juta tahun lalu) hingga Eosen (zaman geologis yang berlangsung sekitar 56-33,9 juta tahun yang lalu).

Bebatuan di busur Ladakh dikenali terdiri dari granit hingga andesit dari gunung api Khardung. Sementara, di kawasan Karakoram, bebatuannya merupakan metamorf (hasil transformasi suatu tipe batuan yang sudah ada sebelumnya; protolith) dan granit.

Saya ingat saya membiarkan G untuk menjajal motor di medan berundak itu sendirian terlebih dulu selama satu putaran jalur. Sepanjang menunggu itu, saya mematung saja menikmati angin yang meniup tubuh saya yang rada oleng—pertanda angin saat itu memang sedang kencang. Saya lihat G dari titik “start” ini. Kadang-kadang, ia bersama RE Classic-nya menghilang di balik undakan. Muncul lagi ketika ia menjadi titik kecil jauh di sana.

2 - Booth camp Leh Colony Ladakh - Astri Apriyani - Atre's Odyssey
Royal Enfield Classic 500 cc yang bakal menemani kami selama beberapa hari ke depan menjelajah Ladakh.

G akhirnya mengajak saya turut menjajal medan booth camp. Hitung-hitung pemanasan dan latihan, karena medan di kamp ini semacam simulasi medan sebenarnya nanti selama touring, kata pemandu kami. Jalanan tak melulu aspal dan mulus-mulus saja, tapi akan ada turunan tajam, belokan curam, jalan kerikil yang mudah selip, sampai jalan basah menerabas sungai.

Selain mengenali medan, booth camp ini penting untuk membiasakan diri terhadap motor yang dikendarai. G masih meraba-raba kapan harus braking, clutching, control gear, throttle, menjaga momentum ketika menemui tanjakan, dan bagaimana cara jatuh yang benar supaya meminimalisasi luka. Perkara safety dan riding brief ini memang tak semudah kelihatannya, ya.

Setelah tiga kali putaran, setelah sempat terjatuh sekali, takut saya berkurang. G juga sudah mulai akrab dengan RE pilihannya. Saatnya kami keluar dari lahan booth camp, dan benar-benar menjajal jalanan. Estimasi jadwal hari ini adalah menempuh 70 km untuk 5 jam agenda.

Kami menderu di atas jalanan aspal panjang dan lurus, masih di kawasan Leh. Tujuannya: mencari restoran untuk makan siang. Pada dasarnya, hari pertama dan kedua adalah memang tentang pengenalan—dengan motor, dengan jalanan, dengan teman-teman RoML, semuanya. Besok perjalanan yang sebenar-benarnya baru akan dimulai.

Saya menemukan hotel favorit saya di akhir hari pertama ini. Namanya, Hotel Khasdan. Letaknya dekat dari Shanti Stupa. Bangunannya masih baru dan bersih. Semua fasilitasnya bekerja baik saat itu: air hangat di kamar mandi, selimut tebalnya, Wi-Fi-nya, TV-nya, dan makanannya. Dikelilingi oleh pepohonan rindang, pemandangan dari Khasdan juga langsung mengarah ke pegunungan pasir yang “Ladakh banget”.

CERITA SELANJUTNYA
DAY 3                             DAY 4                              DAY 5

One Comment Add yours

Leave a comment