Mendarat di Leh, India Utara, dengan Langkah Mengawang-awang

Cerita motoran dua traveler di India Utara, mulai dari Leh sampai ke Khardung La, one of the world highest motorable road in the world. Namun, sebelum itu, cari tahu dulu bagaimana cara mencapai Leh?

Semua berawal dari mimpi dan angan-angan bersama G tentang perjalanan. Ketika pertama kali tahu kalau Khardung La (5.359 mdpl) di India Utara disebut “the world highest motorable road in the world”, G yang suka sekali road trip motor, berucap, “Kayaknya seru kalo bisa motoran di sana.”

Beautiful landscape in Leh Ladakh India with browny mountains - Astri Apriyani

Saya yang tak lancar bermotor karena pernah beberapa kali kecelakaan dan menyerah untuk memulai lagi, mengangguk mengiyakan. Jika ada orang yang bisa saya percaya untuk berkendara di jalan dan membuat saya merasa aman, G adalah salah satunya. Walaupun bekas luka di pipi suka nyut-nyutan kalau G sudah tancap gas lebih cepat dari biasanya. G biasanya hanya tertawa melihat saya ketakutan. Tak sadar kalau ketakutan saya tak dibuat-buat. Saya cuma bisa tersenyum ketika ia menganggap itu seperti candaan. Ha-ha, kata saya.

Kembali ke perjalanan, Khardung La kemudian membenak di pikiran kami. Mengendap terus. Ketika akhirnya beberapa kawan, seperti Galih dan Febian dari Embara Films, tiba di Ladakh, kami saksikan pemandangan di sana luar biasa. Memang, hanya memandang dari foto-foto saja. Teman-teman kami itu memilih menjelajah Leh hingga Khardung La dengan kendaraan roda empat. Semacam elf yang nyaman. Mimpi saya dan G semakin subur.

Motoran di India Utara pelan-pelan berusaha diwujudkan. Kami lalu sibuk riset, dan sibuk mewujudkan rencana. Setelah Mardi Himal, Nepal, saatnya kami kembali turun ke jalan, berpetualang. Sudah rindu kami pada Himalaya, dan udara dingin pegunungan.

Untuk tiba di Khardung La, jalur salah satunya ternyata lewat Leh. Ia adalah kota terbesar di wilayah persatuan Ladakh, India Utara, setinggi 3.524 mdpl.

Sekadar peringatan. Siap-siap saja ketika menyebut Kota Leh, kamu akan mendengar candaan usang yang segera diucapkan oleh orang-orang di sekitar, “Ke Leh? Leh uga.” Sebuah candaan yang kebaca tapi tetap banyak orang lontarkan. Jangan digaplok, cukup dimesemin saja.

Sekali lagi saya sebutkan, ketinggian Leh adalah 3.524 mdpl. Elevasi ini melebihi ketinggian Gunung Slamet (3.428 mdpl) di Jawa Tengah dan hampir menyamai tinggi Gunung Semeru (3.676 mdpl) di Jawa Timur. Tinggi juga.

HALO LAGI, NEW DELHI

Rasanya betul-betul baru kemarin ketika saya pribadi bersemangat karena akhirnya jadi juga berangkat ke India untuk yang kedua kalinya. Susah-payah saya dan G menyamakan jadwal untuk sama-sama berpetualang. Ketika akhirnya sudah duduk di pesawat menuju Indira Gandhi International Airport, New Delhi, pada 27 Juni 2018, kami sudah bisa meluruskan kaki dan bernapas lega.

Yang saya ingat dari penerbangan Jakarta-Kuala Lumpur-New Delhi itu, hanyalah bahwa perasaan kami campur-aduk karena satu lagi mimpi bisa terwujud bersama. Ingatan kedua adalah penerbangan diisi sebagian besar dengan tidur dan makan. Setelah 5,5 jam di udara, setelah penerbangan dini hari yang dingin, kami tiba di Delhi pagi hari. Saya sudah bayangkan suara-suara bising klakson dan hawa panas Delhi bahkan sejak saya masih berkelindan di balik selimut pesawat.

An area in Paharganj Delhi India - Astri Apriyani

Setahun sebelumnya, saya dan G menjejakkan kaki pertama kali di Delhi. Saat itu, saya butuh waktu setengah hari untuk pulih dari shock karena ruwet dan berisiknya kota ini. Setahun kemudian, Delhi masih tak jauh beda. Hanya saja, kali ini saya sudah menduganya. Jadi, tak ada lagi adegan panik di tengah jalan karena diamat-amati banyak laki-laki lokal dari ujung rambut sampai ujung kaki.

Dan, benar saja, begitu pintu keluar bandara membuka, Delhi persis seperti yang saya ingat. Angin panas langsung menampar-nampar muka. Saya dan G lihat-lihatan, sembari segera membuka jaket tebal yang kami kira saat itu tak lagi ada gunanya. Kami genggam erat-erat jaket di tangan, sembari membenarkan letak tali tas 50 liter kami yang berat.

Traveling di India memang lebih cocok membawa carrier ketimbang koper, bagi saya. Sebab, banyak perjalanan naik-turun transportasi umum, seperti kereta, bajaj, dan taksi. Banyak lari-lari dan menyusuri tepi jalan yang ruwet.

G merokok sebentar di selasar bandara, tepat di dekat tulisan smoking area. Sementara, mata saya panjang menantikan jemputan dari hotel kami di kawasan Paharganj.

Saya sudah pernah menceritakan tentang Paharganj di Instagram. Sebelum berangkat, seorang teman blogger asal India mewanti-wanti untuk tidak memilih penginapan di Paharganj karena riskan kriminalitas. Penginapan di daerah ini memang cenderung lebih murah, tetapi termasuk salah satu area berbahaya di India. Entah karena kurang tidur atau kurang air putih, saya malah tahu-tahu booking hotel satu malam di kawasan ini. Seperti anak kecil, yang dilarang malah dilakukan. Ha-ha-ha.

Rooftop hotel in paharganj delhi india - Astri Apriyani
Hello again, Delhi.

Karena menyimpan tenaga, saya dan G memutuskan tak ke mana-mana di Delhi. Hanya istirahat setelah perjalanan panjang dan menghabiskan waktu di hotel. Penginapan ini memiliki rooftop yang menghadap ke jalanan.

Meskipun lantainya cukup tinggi, kalau tak salah ingat lantai 5, tapi suara klakson bersahut-sahutan masih sayup kedengaran. Saya melongok ke bawah ke arah jalan raya. Jalanan tak terlalu macet, tetapi semrawut. Bajaj, motor, mobil, dan para pejalan kaki saling seliweran.

Dari atap hotel, kami menikmati senja yang kelabu. Langit Paharganj betul-betul mengingatkan pada langit Jakarta yang tebal polusi. Karena itu, senjanya tak cerah. Tak apa, asal ada masala tea dan angin sore sepoi-sepoi. Juga tak lupa merdu suara din diinnn kendaraan. Ah, selamat datang kembali di India, Tre, batin saya.

Baca juga: Apa yang Bisa Dilakukan di New Delhi dalam 48 Jam

BERANGKAT KE LEH

27 Juni 2018. Dalam waktu beberapa jam mendatang, saya dan G bakal menjejakkan kaki di Leh. Kami sudah kembali berada di Indira Gandhi International Airport pagi-pagi betul. Jadwal penerbangan kami menuju Kushok Bakula Rinpoche Airport (IXL) dengan airbus A320 Jet dari KLM Uk. Ltd. terbang jam 07.00. Kami bakal menghabiskan 1,5 jam di udara.

Ada alternatif lain untuk mencapai Leh melalui jalan darat. Selalu ada pilihan bus dari banyak kawasan di India yang mengarah ke Leh. Rata-rata jarak tempuhnya bisa mencapai 15 bahkan hingga 48 jam. Karena waktu saya dan G tidak terlalu banyak, kami memutuskan naik pesawat.

Ada kelebihan dan kekurangan dari tiap-tiap moda transportasi. Jalan udara yang membawa kita dari ketinggian 216 mdpl (Delhi) langsung ke ketinggian 3.524 mdpl (Leh) bisa membuat tubuh kita kaget. Potensi untuk terkena AMS alias Acute Mountain Sickness karena proses aklimatisasi yang sebentar, sangat besar. Namun, bagi orang yang ingin cepat tiba, pesawat memang pilihan paling tepat.

Sementara, jalan darat yang membutuhkan jarak tempuh bisa hingga 2 hari 2 malam, memungkinkan tubuh kita untuk menyesuaikan diri dengan ketinggian secara perlahan. Ada kesempatan bagi tubuh untuk beradaptasi. Namun, itu tadi, waktu perjalanan sungguh sangat panjang, berliku-liku, dan tak terduga. Sering terjadi longsor, badai salju jika musim dingin, jalan rusak, bahkan bus yang terperosok ke jurang.

A beautiful landscape above Leh India

Saya sudah membaca cukup banyak tentang AMS sebelum berangkat. Cukup bikin deg-degan dan ngeri juga, karena banyak kasus di mana para traveler sampai muntah parah dan harus segera dibawa ke ketinggian lebih rendah secepatnya. Otomatis, tak bisa melanjutkan perjalanan. Saya dan G berdoa di hati masing-masing supaya kami sehat. Kami pegangan tangan erat.

TIBA DI LEH

Saya sudah belajar beberapa kata penting bahasa Ladakhi sebagai persiapan. Jullay (halo), toook jay shay (terima kasih), khamzang inalay? (apa kabar?), kasa! (YES!), deegk (oke), dan lain-lain. Tak sabar ingin mengucapkannya sesegera mungkin. Saya pikir tadinya ketika menjejakkan kaki di bandara Leh, saya akan langsung dapat kesempatan itu. Namun, tak demikian adanya.

Kami tiba di Kushok Bakula Rimpochee Airport. Saya tidak merasa pusing. Saat masih di pesawat, saya tak merasa ada yang berbeda. Kami duduk cukup lama di pesawat ketika sudah mendarat, menunggu kedatangan bus yang mengantarkan kami ke lobi bandara. Saya hanya membenak, lobi bandara itu dekat sekali dari pesawat berhenti. Tak ada sampai 400 meter. Hanya saja, lapangan aspal itu agak mendaki. Setelahnya saya baru mengerti alasan kami membutuhkan jemputan.

Sembari menunggu bus, saya melongok dari jendela. Leh adalah kota yang dikelilingi pegunungan. Ketika hendak mendarat, sempat kelihatan jajaran pegunungan dan bukit mengelilingi bandara. Untung, pendaratan lancar, meski sempat terbang di antara lembah-lembah dan runcing pegunungan, serta langit yang berkabut. Saya lihat pula sejauh mata memandang, palette warnanya adalah coklat.

Landing at Kushok Bakula Rimpochee Airport Leh - Astri Apriyani

Sempat pula dari udara saya daratan salju yang cepat berubah menjadi tenda-tenda hijau berdebu coklat di sekitar bandara. Ternyata, itu adalah warna militer di Leh. Belakangan baru saya tahu kalau banyak titik di seluruh kawasan Leh dan Ladakh, Jammu-Kashmir, merupakan kawasan militer India. Masuk akal, karena kawasan dataran tinggi itu adalah kawasan yang berbatasan langsung dengan negara lain, seperti Bhutan, China, juga Pakistan.

Saya dan G akhirnya keluar pesawat. Angin dingin langsung menelusup ke penjuru badan. Suhu ini sudah kami bisa duga. Tapi, yang tak kami duga, jejak-jejak kami terasa ringan, jauh lebih ringan daripada biasanya. Dalam bayangan saya yang mengawang-awang, saya merasa seperti Yuri Gagarin yang sedang menjejakkan kaki (konon) di bulan. Seperti memantul-mantul terbang. Tuing, tuing, tuing.

Saya memandang G. Ia memandang balik dengan tatapan bingung tapi senang. Jarak lobi bandara memang dekat, tapi dengan tubuh yang masih menyesuaikan diri dengan ketinggian, rasanya wajar kalau ada fasilitas bus untuk menjemput kami. Di bus jemputan yang lebih mirip bus sekolah zaman dulu, kami memekik excited tapi dengan suara pelan.

Tak ada pesawat lain di landasan Kushok Bakula Rimpochee. Hanya ada pesawat yang tadi saya tumpangi. Seiring bus menjauh dari landasan pacu, semakin saya mendekati aula bandara. Sungguh, bandara ini mengingatkan pada bandara-bandara kecil di wilayah pelosok Indonesia, seperti Bandara Dumatubun persis sebelum direnovasi. Tempat check-in pesawat hanya berupa meja kayu tinggi, sedangkan bagasi masih diserahkan secara manual dengan tangan staf lewat lubang cukup besar.

Berbagai kebangsaan tumpah-ruah di aula bandara itu. Tapi entah kenapa, tidak terasa bising. Orang-orang berjalan lebih lambat, dan bersuara lebih pelan. Saya bahkan tidak memotret satu foto pun di bandara ini. Saya lupa, apakah memang dilarang ataukah saya terlalu terkesima.

Begitu carrier saya dan G sama-sama sudah di tangan, kami langsung mengarah ke pintu kedatangan bandara. Di sana, sudah banyak orang yang mengangkat papan nama-papan nama, menunggu orang yang hendak dijemput. Tapi, tak ada sikut-sikutan. Mereka saling bersenda gurau dan bercanda satu sama lain.

Saya kemudian melihat nama saya dan G dipegang seorang lelaki India kurus dan pendek. Saya dan G hampir bersamaan melambai ke arahnya. Ia melambai balik. Saya lupa namanya, tapi ia adalah orang yang didapuk oleh pihak Hotel Lingzi. Kami memang dijemput di bandara oleh pihak hotel, karena sudah termasuk fasilitas. Jarak tempuh sekitar 15 menit dari bandara ke hotel. Tanpa macet, tanpa hiruk-pikuk kendaraan. Sungguh keadaan yang jauh berbeda dari New Delhi.

Sepanjang perjalanan, lima menit pertama, G mengeluarkan kamera Go-Pro-nya dan memotret sana-sini. Namun, sisanya, ia terdiam. Saya juga. Leh yang didominasi warna coklat dan pegunungan berlayer-layer membuat kami fokus pada pemandangan di sepanjang jalan. Jalanan aspal yang panjang membuat perjalanan semakin ajaib. Saya berusaha bertanya pada supir yang menjemput kami, tapi ia tak bisa berbahasa Inggris. Saya coba mengucapkan “khamzang inalay?”, tapi susah mendengar saya di tengah deru kendaraan. Saya akhirnya berhenti mencoba.

Dari jauh, ketika sudah memasuki pusat kota Leh, baru kami melihat panorama yang lain lagi. Jajaran hotel dan restoran dengan bentuk kotak-persegi juga berwarna tak jauh dari putih-coklat, memenuhi mata. Kawasan ini lebih ramai karena ini sepertinya pusat aktivitas para turis serta bisnis di Leh.

The city of Leh North India - Astri Apriyani

Saya baru tersadar setelah turun dari taksi tepat di  depan Hotel Lingzi, kalau Leh sedang sangat berdebu. Ini bulan Juni. Akhir Maret sampai Juli memang musim panas di Leh. Mungkin, sudah lama tak turun hujan jadi debu menebal tak hanya di aspal, tapi hingga menempel di jendela-jendela hotel. Pantas saja begitu memasuki pusat kota, kami lihat banyak pejalan kaki yang mengenakan masker atau scarf di wajah. Itu untuk menangkal debu.

Saya dan G berdiri sebentar melihat taksi kami pergi. Carrier-carrier kami tergeletak di trotoar yang berdebu coklat. Saya mengecek napas. Ternyata, berat. Saya tanya G, ia juga sama. Tak main-main, kami butuh waktu untuk beradaptasi dengan ketinggian Leh ini. Karena itu, hari pertama tiba di kota ini, kami memutuskan untuk istirahat saja di hotel, berharap proses aklimatisasi berjalan lancar. Keesokan harinya baru mulai eksplorasi.

Jullay*, Leh!

*Jullay (joo-lay) adalah bahasa Ladakhi untuk “halo”. Kata ini juga kerap digunakan untuk mengucapkan “bye. Seperti namaste di Nepal atau anyeong dalam bahasa Korea, yang bisa bermakna keduanya.

Cerita berikutnya.
Kau Belum Sepenuhnya Aman di Leh India Jika Belum Berhasil Melawan AMS

8 Comments Add yours

  1. Adindut says:

    Saya tuh belum dikasih kepingin untuk traveling ke India, Kak. Tapi saya pernah lihat foto-foto tentang Leh dan Ladakh lalu suka sekali dengan foto-foto tersebut. Jadi lebih kepingin ke sana dibanding ke Indianya. Heheheh

    Oke, lanjut ke tulisan berikutnya.

    1. Atre says:

      Aku pikir tadinya pun nggak bakal suka kebisingan dan semrawutnya kota-kota besar di India. Tapi, ternyata kota-kota itu punya charm-nya sendiri. Saya yang suka motret situasi jalanan suka banget explore jalanan kota di India. Sembarangan motret aja hasilnya bagus, ikonik. Cuma kalau ngomongin India Utara, sekitar Leh Ladakh, Jammu Kashmir, itu emang beda lagi sih ceritanya. Langsung jatuh cinta parah. Rasanya kayak berada di dunia lain. Kayak di Mars, malah.

      Nanti deh coba kusegerakan blogpost selanjutnya soal kelilingan di Ladakh 🙂

  2. Aduh, ini kota udah lama nangkring di bucketlist saya, belum kesampaian mulu niih, malah pindah yang lain hahaha… susah dapat exit permit dari suami kalo mau ke India solo padahal kan kalo Leh relatif aman yaa…. 🙂

    1. Atre says:

      Kalau rencananya memang mau motoran sendirian, rasanya agak riskan kalau perempuan. Tapi mungkin, kalau memang mau stay saja di Leh dan explore sekitarnya, semoga aman 🙂

  3. adnabilah says:

    Menarik! I just hit follow. 🙂

  4. Abigail Tessa says:

    Love the pictures 😍
    India sepertinya mirip2 Indonesia dalam hal kriminalitas ya?
    Kalau ga salah, katanya cukup riskan juga buat cewek travelling di sana.

    Anyway, well written 😊👍

    1. Atre says:

      Terima kasih.

      Di beberapa bagian India, memang agak riskan banget sih, terutama perempuan. Makanya, kalau ada kawan yang tanya soal India, aku nggak pernah menyarankan untuk perempuan traveling sendirian ke sana.

Leave a comment